Perjalanan Ananda dan Kehadiran Sang Idola


*Terima kasih kepada kak Ananda Sukarlan dan kak Chendra Panatan atas kesempatan untuk menghadiri konser sebagai blogger. Semoga tulisan ini membawa semangat positif bagi semua pembaca, baik yang hadir di konser maupun yang belum sempat. 
*Terima kasih kepada Julie Putra untuk ide yang asyik sekali dari sebagian tulisan ini! Beneran beruntung deh aku dapet akses ke idemu, Jul! 
*Terima kasih tak berhingga untuk Widya Kristianti atas dorongan luar biasa agar tetap menghadiri konser meskipun sempat basah kuyup kehujanan. Mood ku saat itu sudah rusak tapi Widya luar biasa telaten menyetrika bajuku supaya bisa lekas kering dan memanggil taksi online untuk berangkat dengan mobil. Tulisan ini bisa ada SEMATA berkat dirimu! Thanks, kun!

Minggu sore di Jakarta. Hujan rintik. Sebuah taksi putih berhenti di pinggir jalan. Seorang penumpang turun. Setelah merapikan jas dan dasi, ia berlari kecil ke arah gedung pertunjukan. Sepertinya aku tahu pria itu.  
Aku masuk ke gedung teater. Pertunjukan segera dimulai. Pria tadi muncul di pintu masuk persis di belakangku. Ia berjalan tenang lalu berdiri tepat di samping deretan bangku. Matanya menatap ke panggung. 
Konser dimulai. Ananda Sukarlan sang pemimpin orkestra masuk panggung. Ia memberi hormat pada penonton. Ananda melirik ke kiri atas, ke arah pria tadi, lalu kembali memberi hormat. Rupanya Ananda kenal pria itu. Siapa dia? Jangan-jangan… Astaga, pantas saja, itu ISMAIL MARZUKI!

Hidangan Pembuka
Tuan rumah mana yang tak belingsatan mendapat kunjungan panutan yang diidolakan? Demikian juga Ananda. Saat mendengar Ismail Marzuki akan hadir dalam konsernya, ia langsung mempersiapkan segalanya sampai sempurna. Ananda senang karena bisa bertemu Ismail Marzuki.

Ananda ingin sekali bercerita banyak hal. Perjuangan. Romantisme. Hal-hal yang selama ini ia pendam sendiri. Beberapa tahun belakangan hatinya sungguh sesak. Ia butuh bertemu seorang yang kuat. Bukan untuk mengeluh, hanya bercerita.

Ananda Sukarlan (dokumentasi : Julie Putra)

Ananda memulai konser dengan kisah pilu. Tsunami menghantam Indonesia. Ananda sedih dan marah. Sayang, sepertinya hanya segelintir penonton yang tahu judul lagu pembuka sore itu. Buku acara disebarkan setelah konser dimulai. Seandainya semua penonton tahu, mungkin semua akan larut dalam doa.

Tapi Ismail beda. Ia tahu isi hati Ananda. Ismail mengernyitkan dahi. Perlahan ia mulai duduk. Turut mendoakan korban tsunami.

Cerita berlanjut. Ananda memamerkan sisi romantisnya. Penonton disuguhkan kisah cinta rumit yang dibawakan oleh penyanyi sopran Mariska Setiawan dan tenor Widhawan Aryo Pradhita. Ananda membuat karya itu berdasar novel Erstwhile : Persekutuan Sang Waktu karya Joseph Rio Jovan Haminoto, sesama alumni SMA Kolese Kanisius.


Aryo dan Mariska (dokumentasi : Julie Putra)

Aryo rajin menebar pesona. Ia bergaya seakan pria paling cerdas dan gagah ada di samping Mariska. Peduli setan dengan lelaki lain. Mariska kesengsem. Wanita cantik itu terpengaruh. Sesaat sepertinya Aryo berhasil. Namun, sesuatu menghalangi mereka.

Semua disimpan dalam hati. Aryo dan Mariska harus menahan diri. Semesta belum mendukung. Di barisan belakang, Ismail geleng-geleng kepala sambil tersenyum kecut. Begitulah, katanya.    


Hidangan Khas Sahabat Tuan Rumah
Ananda menggiring penonton pergi ke Sumatera Barat bertemu Malin Kundang. Sahabat Ananda, Handry Satriago tampil ke panggung. Mereka akrab sekali. Sudah seperti sahabat sejak kecil. Saya yakin, saat masih kecil keduanya suka memanjat pohon atau berenang di kali. Hanya manusia dengan kecintaan luar biasa pada alamlah yang mampu mengombang-ambingkan perasaan penonton sedemikian rupa. Untung ruang teater gelap. Saya nyaman menangis. 

Hati Handry mendidih. Tajam ia merasuk dalam sosok Mande Rubayah, ibu kandung Malin Kundang. Simsalabim, hup! Handry, yang seumur hidupnya percaya pada keajaiban, menyulap seisi teater. Semua penonton berdiri dan serentak maju ke panggung memeluk Mande Rubayah yang kesepian dan berpakaian compang-camping. Semua memprotes Malin. Tidak terima melihatnya menendang sang ibu.  

Handry Satriago (dokumentasi : Julie Putra)

Mikrofon Handry turut memaki Malin. Ananda meledak. Perkusi mengamuk. Strings menjerit. Panitia konser berteriak marah. Bangku penonton berdentam. Sungguh luar biasa ajaib.
Handry sempat bilang, saat ini banyak orang membatu. Tidak mendengarkan kata hati. Handry rupanya prihatin pada keadaan bangsa Indonesia saat ini. Malam itu ia berteriak keras sekali demi perubahan. Semua ia lakukan karena kecintaan pada Amanda dan Amelia puterinya, dan kebanggaan pada Indonesia, tanah airnya.

Ananda dan Handry, yang sama-sama hobi memanjat pohon dan main di kali saat masih kecil, meneriakkan genderang kemanusiaan. Dengarkan kata hatimu! Berhenti membatu! Penonton mendengar jelas. Mengangguk. Lalu kembali duduk. Semua menghela napas panjang sambil menyeka air mata.   

Sambil memicingkan mata, Ismail memperhatikan Handry. Ia mengeluarkan pena dan catatan kecilnya. Teruslah berteriak, Indonesia membutuhkanmu, pesan Ismail untuk Handry.  


Wejangan Ismail
Lebih setengah jam sudah Ananda meladeni tamunya. Ia lelah. Ananda melangkah keluar panggung, menghela sepatu, dan duduk di sofa putih pojok ruangan. Di situ ia bisa istirahat sendiri. Ananda suka menyendiri. Itu membantunya melambatkan kerja otak. Pikiran manusia memang perlu diperlambat dan banyak istirahat agar tetap waras.

Ia meminta segelas air putih dingin pada panitia. Ingin rasanya Ananda meneguk anggur. Sedikit saja. Namun ia tahu konser belum rampung. Tak apalah, nanti saja. Semua ada waktunya. Segala sesuatu yang diperoleh dengan kesabaran pasti lebih nikmat rasanya.

Ismail mereguk kopi panasnya. Sambil bersandar, ia menyesap rokok yang ia bawa sendiri di ruangan belakang panggung. Ismail duduk di ruangan itu dengan terpaksa. Ia benci tulisan VIP di pintu. Ismail orang sederhana, tidak suka diistimewakan. Semua orang terlahir istimewa sehingga tidak ada yang perlu diistimewakan kembali. Lagipula siapa yang memberi hak menentukan keistimewaan seseorang.

Ananda sekarang duduk di depan ruangan Ismail. Ia hendak menyapa Ismail. Setelah merapikan kacamata dan menarik napas dalam, ia melangkah masuk. Tujuh menit berselang ia keluar ruangan. Nafasnya menderu namun hatinya damai. Pikirannya berkeliaran keras namun jernih.
Rupanya Ananda mendapat pesan dari Ismail. “Perang terjadi di setiap sudut kota, kamu harus tekun membagikan cinta. Jangan pernah pelit menyunggingkan keindahan dalam senyum ramah karyamu. Demi negeri pujaanku… Indonesia.”


Persembahan Utama untuk Sang Idola
Ananda kembali ke panggung. Ia tahu Ismail sudah kembali duduk di kursinya. Tidak mau membuang waktu, ia memanggil Finna Kurniawati, pemain violinAnanda berbisik, keindahan wanita di hati Ismail sungguh istimewa, tolong bantu saya, hanya kamu yang sanggup. Finna tersenyum.

Sungguh jitu pilihan Ananda. Finna menunjukkan keindahan wanita yang utuh lewat musik Wanita, Gugur Bunga, dan Halo Halo Bandung. Istri yang tangguh. Ibu yang berani. Anak yang setia. Juga penampil yang cemerlang. Finna menyala terang menusuk kesadaran penonton.    

Ananda belum bisa bermain violin sebaik Finna. Ia lebih suka bermain piano. Peran virtuosik violin pun ia titipkan sepenuhnya pada Finna. Itu adalah pesan dari Ananda untuk dunia. Seni Indonesia memang bernilai mahal. Istimewa, dahsyat, dan tak berbatas. Ayo Finna, tunjukkan pada dunia kehebatan musik Indonesia, teriak Ananda.

Genderang perang tiba-tiba bertabuh. Mengapa mendadak sekali? Ada apa? Ketidakpastian merebak cepat. Finna meratap. Penonton panik dan ketakutan dibuatnya. Ananda membubarkan kepastian dan memelihara kecemasan. Hari esok mungkin kita sudah gugur, keluh seorang penonton lemas ketakutan. Masih ada harapan, teriak penonton lain.  
    
Di pojok belakang, Ismail sontak berdiri. Ekspresi wajahnya tetap datar namun hatinya berdegup keras. Dag… dig… dug. Ismail selalu mengagumi sosok wanita. Wanita memang pantas dikagumi. Keindahannya setara dengan Sang Pencipta sendiri. Jangankan pria, alam pun kerap iri pada keindahan wanita.

Ismail kaget saat Finna sengaja melirik ke arahnya. Finna berterima kasih pada Ismail. Ia ingin menyampaikan langsung tapi tidak berani. Wibawa Ismail membuat Finna gemetar. Padahal Ismail ingin sekali bertemu Finna.

Ananda tidak pernah sembarangan memilih pemain soloist. Bukan kemampuan individu yang ia cari, melainkan kemurnian hati dan keberanian bersikap. Ananda suka berbagi untuk sesama. Demikian halnya dengan Jessica Sudarta, pemain harpa.

Jessica menilai dirinya beruntung bisa mengenyam pendidikan bermutu. Ia hendak membalas keramahan dunia dengan berbagi cinta. Lewat gerakan #LoveforIndonesia, siapapun ia datangi. Ia tak pernah terpengaruh perbedaan agama, ras, dan bahasa. Selama mereka manusia, mereka adalah saudaraku, begitu prinsip Jessica.      

Secara khusus Ananda meminta Jessica memainkan musik Melati di Tapal Batas. Ananda tahu hanya Jessica yang sanggup membayangkan perasaan srikandi yang menyumbangkan jiwa raga mengawal negara.  

Ismail tahu semua itu. Ananda sempat bercerita padanya. Ia pun menaruh hormat pada Jessica. Ismail duduk sedikit maju. Kedua tangan terlipat di depan dagu. Di matanya, Jessica mirip bunga melati. Cantik dan membuat sekelilingnya menjadi indah.

Jessica sadar Ismail memperhatikannya. Ia membalas dengan senyum tanpa berani melihat Ismail. Sejak kecil, Jessica memang pemalu. Ia kerap merasa malu berada di hadapan orang banyak namun bukan rendah diri.

Peran mengakhiri konser Ananda titipkan kepada Anthony Hartono. Peran itu menuntut cinta dan harapan yang luar biasa kuat. Akhir konser harus megah karena jutaan pesan hendak disampaikan. Penonton harus paham pesan-pesan itu. Sungguh berat beban Anthony. Namun ia tidak mengeluh. Anthony sudah terbiasa hidup berat.   

Demikianlah kehidupan Anthony, pianis muda yang sangat mencintai keluarga dan kekasih. Berat rasanya menjalani studi di negeri orang jauh dari kehangatan kekasih. Anthony sedih namun tak pernah menunjukkannya. Ia tahu sang pujaan hati menanggung kesedihan lebih dalam. Ia harus tegar.
Kepada ibunya yang rindu, Anthony pernah sengaja minta diajarkan cara memasak semur bola-bola. Kesedihan sang ibu terselamur berganti semangat. Sedih berganti ceria. Memang dalam hal memperhatikan orang lain dan menyebarkan harapan, Anthony adalah jenius.

Ananda menuliskan ‘tolong beri kami harapan’ di telapak tangan Anthony. Sengaja ia menggunakan kata ‘tolong’. Ia tidak suka memerintah. Terlebih lagi, Ananda, yang malam itu sama sekali tidak mendapat jatah bermain piano, membebaskan Anthony untuk berkreasi. Musik Indonesia Pusaka langsung Anthony pancangkan dengan panas menggebu. Keringat sedikit keluar di keningnya.

Anthony tampil penuh perhitungan, bukan terburu-buru. Memang demikian seharusnya cara menggapai cinta atau impian. Penuh gairah namun tetap tenang. Tidak terburu nafsu. Sikap terburu-buru dalam usaha meraih apapun tidak akan pernah berbuah baik.


Pilihan Ananda Sukarlan
Berulang kali Ananda menengok ke Anthony. Semakin Anthony menyala, semakin bertenaga pula Ananda, dan sebaliknya. Persis seperti kakak adik yang keasyikan mempersiapkan kado ulang tahun orang tuanya.

Ananda paham betul kebhinekaan Indonesia sedang terluka. Tercabik nafsu kuasa. Ia terpanggil melakukan sesuatu. Sesegera mungkin karena luka sudah parah. Ananda mendekati Anthony. Ia berkata, sekarang ikut saya membalut luka itu dengan Selendang Sutra! Kali ini Ananda bukan meminta tolong, melainkan tegas memberi arahan.

Demikian memang watak pemimpin yang baik. Tahu kapan harus berlaku lembut atau tegas untuk memunculkan pengharapan. Berbeda dengan sikap kasar. Justru kekerasan atau sikap kasar lebih kerap mengandung keputusasaan.

Hati Ananda sungguh ikhlas menerima peran membalut luka. Itu membuatnya merasa harus belajar lebih banyak. Ananda tidak pernah besar kepala. Kemegahan musik membuatnya merasa kecil. Dalam kekecilan dirinya itu justru Ananda makin mengerti cara memegahkan musik. Karena musik dan diri Ananda sebetulnya adalah satu.

Selendang Sutra pun Ananda balutkan dengan kemegahan luar biasa. Ia sadar itu satu-satunya cara untuk mengobati bangsa sebesar ini. Berteriak keras atau diam sama sekali! Ananda memilih sikap yang pertama. Ia tidak pernah memilih untuk berdiam. Ketidakadilan membuat tidurnya tidak nyenyak.    

Ismail berdiri. Kedua tangannya masuk ke saku. Ia tersenyum ke arah Anthony dan Ananda. Ismail bangga namun bukan sombong. Menurut Ismail, semesta sudah mengandung semua musik sejak awal penciptaan. Komposer hanya menemukan dan menyajikannya.

Musik ini bukan milik saya atau Ananda, ini milikmu, Indonesiaku, kata Ismail.

Ananda Sukarlan dan para penampil (dokumentasi : Julie Putra)


Bangku BF 37, tempat duduk Ismail Marzuki malam itu (dokumentasi pribadi)



Ananda Sukarlan dan para penampil millenial (dokumentasi : panitia)

Comments

Popular posts from this blog

Terima Kasih Ahok!

Dasar Kamu Enggak Normal!