pérspéktif Widya Kristianti - Sisi Menarik Buku Bacaan

Buku adalah jendela dunia. Sumber berbagai ilmu pengetahuan. Kegiatan membaca buku membuat kita cerdas dan berwawasan luas. Rajin membaca buku juga meningkatkan kualitas fokus. Seorang yang punya kebiasaan membaca buku punya daya tahan konsentrasi yang baik. Ia bisa menuangkan fokus dengan kualitas baik pada satu topik dalam waktu yang relatif lama.  

Saya rasa semua orang sudah tahu dan memahami dampak positif dari kegiatan membaca buku. Tentu saya berasumsi semua orang ingin mendapatkan manfaat baik tersebut hingga berusaha menghadirkan kegiatan membaca di dalam rumah.  

Namun ternyata saya sering melihat sebuah tempat tinggal, dengan televisi berukuran besar dan gawai berharga mahal, dengan hanya sedikit sekali, atau bahkan tidak ada, buku di dalamnya. Televisi besar terpampang di ruang tamu dalam kondisi menyala hampir sepanjang hari. Gawai digenggam tiap saat kemanapun pemiliknya pergi. Tapi belum tentu satu kali dalam seminggu ada kegiatan membaca buku di dalam rumah itu.          

Bisa saja kondisi itu muncul akibat minimnya pengetahuan. Mungkin asumsi saya di paragraf kedua tadi keliru. Sebetulnya orang belum paham bahwa membaca buku adalah kegiatan yang baik. Orang tua belum membiasakan kegiatan membaca buku untuk anak-anaknya. Mereka lebih memilih untuk membelikan gawai dan kuota internet ketimbang buku, terlepas dari tingginya ketergantungan pada gawai untuk studi di masa pandemi ini. 

Bila banyak orang tua belum menyodorkan buku untuk anaknya, bagaimana dengan peranan guru di sekolah? Guru punya peranan besar sekali pada pendidikan anak-anak. Orang tua sangat mempercayakan pendidikan anak-anaknya pada sosok guru di sekolah. Guru dipandang mampu memberikan pembiasaan yang baik pada anak-anak termasuk kegiatan membaca. 

Bagaimana pandangan guru terhadap kebiasaan membaca anak didiknya? 

Bagaimana cara guru meningkatkan kebiasaan membaca anak didik? 

Bagaimana pendapat guru tentang program sekolah  untuk mendorong anak didik membaca buku? 

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, saya mencoba mendalami perspektif istri saya, Widya Kristianti, seorang guru sekolah dasar yang gemar membaca.    


Perang Dunia

Widya Kristianti, akrab disapa Kiky, mengatakan bahwa orang yang gemar membaca punya daya tahan konsentrasi yang baik. Mereka cenderung lebih kuat dalam menuangkan atensi pada satu hal secara terus menerus. Ia punya beberapa murid yang gemar membaca buku dan dapat mengikuti pelajaran dengan kualitas konsentrasi di awal dan akhir pelajaran sama baiknya. Murid-murid itu juga kerap bersikap kritis. 

Kebiasaan membaca buku memperluas wawasan. Semakin banyak membaca maka semakin banyak informasi yang diterima. Kiky memperhatikan bahwa murid kerap memilih buku bacaan sesuai topik kesukaannya. "Ada murid saya yang tahu banyak hal tentang perang dunia pertama dan kedua," ceritanya.

Selain itu, kegemaran membaca mendukung murid dalam mengembangkan kemampuan menjelaskan sesuatu. Murid yang gemar membaca terbiasa mengolah kata sehingga punya banyak perbendaharaan kata di kepala. Mereka cenderung mampu menjabarkan sesuatu dengan baik. "Walaupun itu bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi," ujarnya. 

Kiky mengatakan membaca buku adalah kegiatan yang menyenangkan. Kita bisa mencari buku dengan topik sesuai kegemaran kita. "Bergambar atau tidak? Tipis atau tebal? Fiksi atau non fiksi? Ilmu pasti atau sosial? Puisi atau drama? Dimulai saja dulu!" kata Kiky yang saat ini sedang asyik merampungkan buku Becoming (Michelle Obama, 2018). 

Seandainya belum terbiasa membaca buku, kita bisa mencoba membaca majalah, koran, atau komik. Sah-sah saja bila kita mengambil bahan bacaan dengan topik yang selalu sama. Akan muncul momen kita bertemu orang lain yang juga gemar membaca dan membahas beragam topik. "Kita bisa mendapatkan informasi bacaan menarik dengan topik berbeda," jelasnya.    


Essential Question

Lebih jauh, Kiky menceritakan dinamika di beberapa sekolah yang ia ketahui kurang mendorong kedalaman literasi anak didik. Tidak banyak sekolah yang mendorong anak didik untuk melemparkan pendapat dalam menjawab pertanyaan terbuka. "Saat kita menilai literasi anak didik rendah, jangan-jangan itu terjadi karena pengajar tidak memberikan kesempatan membaca atau berdiskusi tentang apa yang sudah mereka pahami," tegasnya. 

Pertanyaan yang dilontarkan guru acapkali tidak menggali kedalaman berpikir anak didik melainkan hanya bersifat hapalan. Pertanyaan semacam itu tidak memancing diskusi dan tidak mengasah literasi anak didik. "Menurut saya baik juga bila guru berpikir 'kira-kira para murid beropini apa ya tentang sesuatu hal'?"  

Terkait opini murid, Kiky mengatakan bahkan ada pengajar seni rupa yang memberikan contoh gambar di papan tulis untuk kemudian murid ikuti sama persis. Guru jadi tidak tahu apa yang sebenarnya sedang dipikir dan dirasakan anak didik. "Padahal ini art, lho!" tandasnya. 

Kiky juga menceritakan tentang sekolah yang punya banyak program untuk mendorong literasi. Murid dan guru banyak membaca, berdiskusi, dan menulis. Belajar mata pelajaran science pun membutuhkan keterampilan menulis. "Contohnya untuk menulis essential question (pertanyaan dasar yang menjadi dasar riset), menjabarkan tahapan eksperimen dengan terstruktur, serta menulis konklusi yang meramu semua tahap riset dengan bahasa yang sistematis dan mudah dipahami orang lain," katanya. 

Berkaitan dengan itu, sekolah menyediakan sebuah map yang diberi nama Writer's Folder di dalam kelas. Isinya adalah lima tahap urutan menulis yang membantu murid agar bisa menulis dengan lebih terstruktur. "Itu bisa digunakan untuk jenis tulisan apapun," ujar Kiky.  

Tidak hanya murid, guru pun dikondisikan untuk terus mengasah kemampuan membaca. Guru harus memperbaharui ilmu pengetahuan yang dimilikinya agar dapat memberikan materi sesuai konteks. "Jadi cara mengajar materi tahun ini bisa jadi berbeda dengan tahun depan. Ada banyak istilah baru, kasus baru, atau ilmu baru," katanya. 


Egg and Spoon

Pada dasarnya anak-anak senang membaca buku. Bagi mereka, membaca buku adalah kegiatan yang menyenangkan. "Saat melihat buku dengan gambar anak-anak akan langsung tertarik dan berseru 'Apa itu?'" cerita Kiky. 

Namun sayangnya belum semua sekolah punya program yang mendorong anak didiknya untuk rajin membaca buku. Ada sekolah yang mengadakan program membaca buku di perpustakaan. "Tapi waktunya cuma sebentar sekali," katanya.

Di sekolah tempatnya mengajar, Kiky melakukan beberapa cara untuk mendekatkan anak didik dengan kegiatan membaca. Kiky mengajak anak didik bercerita tentang bacaan yang sedang mereka baca. Kiky dan anak didik berbagi pengalaman tentang isi sebuah bacaan dan bagaimana perasaan mereka saat membaca. Ia menanyakan bacaan apa yang sedang anak didiknya baca saat ini dan juga memberikan apresiasi untuk apapun yang mereka baca. "Jangan sampai muncul pikiran di diri murid bahwa bacaan yang sedang mereka baca adalah buruk," tegasnya.     

Selain itu, sebelum masa pandemi, Kiky juga kerap mengadakan pertukaran buku bacaan di sekolah. Semua membawa buku kesukaan ke sekolah untuk ditukarkan dengan buku lain. Ia pernah membawa buku 496 halaman berjudul Egg and Spoon (Gregory Maguire, 2014) yang hendak dipinjam oleh muridnya. Hingga suatu waktu murid mengajukan protes karena merasa tidak rela meminjamkan buku kesukaannya. Kiky dan para murid pun sepakat untuk mengubah pertukaran 'buku kesukaan' menjadi 'buku yang direkomendasikan'. 

Sekali lagi Kiky menegaskan ia tidak pernah menilai buku yang dibawa oleh para muridnya. Buku apapun boleh mereka bawa. Ia ingin semua murid merasa buku yang dibawanya adalah baik. "Seiring berjalannya waktu, mereka akan tahu sendiri kok buku mana yang bagus dan tidak," kata Kiky.    

Ada beberapa program sekolah yang sengaja ditujukan untuk mendorong minat baca anak didik, yaitu library classreading circle, students librarian, dan Web Book . Program library class memfasilitasi anak didik untuk membaca mandiri di perpustakaan lalu meminjam buku. Reading circle mengajak anak didik untuk membaca buku yang sama di dalam kelompok kecil untuk kemudian saling menceritakan isi buku dari sudut pandang masing-masing. Students librarian memfasilitasi murid untuk merasakan peranan menjadi pustakawan selama beberapa waktu. 

Sedangkan Web Book adalah sebuah buku di dalam kelas yang berisi pedoman untuk membantu murid memahami bacaan yang sedang dibacanya. Pedoman dibuat sistematis mulai dari mengenali judul buku, tokoh, karakter tokoh, tokoh favorit, hingga mengajak murid untuk membuat surat untuk karakter yang ada di dalam bacaan dan membuat lanjutan cerita versi murid sendiri. "Ada murid yang suka membaca buku Keluarga Super Irit. Dia bilang komik itu tidak hanya lucu, tapi juga memberikan pelajaran prinsip ekonomi," cerita Kiky. Ia mengaku senang karena murid bisa menjabarkan isi buku yang dibacanya.     

Kiky menambahkan, berdasar pengalamannya semenjak kecil, adalah baik bila orang dewasa menyediakan buku dan menceritakan hal yang menyenangkan dari buku tersebut. Cerita itu tentu harus berdasar pengalaman orang tua sendiri, bukan hasil mencari informasi di internet. Hindari mendorong anak membaca dengan alasan 'membaca itu baik' atau 'membaca membuat kita cerdas'. "Tunjukkan saja sisi menarik dari kegiatan membaca atau buku tertentu," jelas Kiky.




Comments

Popular posts from this blog

Terima Kasih Ahok!

Perjalanan Ananda dan Kehadiran Sang Idola

Dasar Kamu Enggak Normal!