pérspéktif Ruang Baca Kecil - Bantuan Perhatian dan Pendampingan

Malam itu hujan turun deras. Angin bertiup cukup kencang. Di dalam rumah, Ika sedang merasa kurang sehat. Ia hendak masuk kamar dan beristirahat. Sebelumnya, ia sudah mengumumkan kepada warga sekeliling rumah bahwa Ruang Baca Kecil tutup. Seorang anak kecil berpayung muncul di teras depan rumah dan memanggil namanya. Ia hendak belajar di Ruang Baca Kecil. Ika berdiri, mempersilakan anak itu masuk, dan menemaninya belajar.

Melihat konsistensi Ika dan suaminya, Adven dalam mendampingi anak-anak belajar di Ruang Baca Kecil, para tetangga menaruh simpati. "Tante, kalau capek atau sakit tidak apa-apa tutup saja," kata tetangga sebelah rumah. "Tidak apa-apa kok," jawab Ika.

Mendampingi anak-anak belajar dan membaca buku di Ruang Baca Kecil membuat Ika dan Adven merasakan kepenuhan diri. Mereka memaknai aktivitas Ruang Baca Kecil sebagai kemanfaatan hidup untuk orang lain. "Kita hidup untuk menjadi garam bagi orang lain. Semampunya kita. Sebisanya kita," kata Ika.   


+++


Kegelisahan  

Sudah lama Christina Ika Maheni dan Synesius Adven Widyanto punya impian membangun perpustakaan. Adven, yang sangat senang membaca, punya banyak buku. Ia sering membeli buku hingga menghabiskan ratusan ribu rupiah. Kebiasaan membaca buku, menurutnya, adalah hal baik yang harus disebarluaskan.  

"Awalnya, sekitar tahun 2010, kita melihat perpustakaan kecil yang dibuat oleh orang tua seorang teman," kisah Ika. Mereka ingin ikut mencoba namun kepadatan aktivitas cukup menjadi halangan. Bukan cuma itu, mereka juga ragu apakah akan ada anak-anak yang datang membaca. "Anak-anak tertarik tidak ya? Beli rak bukunya bagaimana? Nyiapin bukunya gimana?" kisah Ika. "Waktu itu kita kebanyakan mikir!" Adven menimpali.

Ika dan Adven, keduanya berprofesi sebagai guru, gelisah memperhatikan anak-anak di sekeliling rumah bermain hingga larut malam atau menghabiskan banyak waktu nongkrong memelototi gawai. Orang tua mereka kebanyakan pekerja pabrik yang jarang bisa mendampingi anaknya belajar di rumah. Tidak sedikit orang tua yang berangkat bekerja jam 10 malam dan baru pulang jam enam pagi. 

Suatu malam, kegelisahan Ika dan Adven membuncah. Seorang tetangga mengetok pintu rumah mereka. Ia bertanya salah satu materi pelajaran sekolah anaknya sambil menyampaikan keluhan tentang pembelajaran jarak jauh. "Kita ingin membantu. Jangan sampai beban para orang tua itu semakin berat apalagi dalam kondisi pandemi seperti saat ini," kata Adven. 

foto diambil dari akun Instagram ruang baca kecil


Bulan Juli 2020, rumah kontrakan Ika dan Adven, yang bertempat di Cluster Grand Catania Blok O3 Nomor 38 Citra Raya, Tangerang, Banten, pun disulap menjadi ruang belajar sekaligus perpustakaan yang diberi nama Ruang Baca Kecil. "Untung saja warga sekitar bersikap terbuka pada kita. Kalau tidak, mungkin ruang belajar ini sampai sekarang masih berupa wacana," kata Adven.   


Lampu Teras

Ika dan Adven mulai menyicil membeli buku anak-anak, meja tulis kecil, dan papan tulis. Semua ditaruh di ruang tamu berukuran tiga kali empat. "Ruang tamu kita kecil, makanya kita beri nama Ruang Baca Kecil, hehehe!" canda Ika. Perlahan-lahan, Ika dan Adven melengkapi fasilitas Ruang Baca Kecil dengan kipas angin. Mereka juga membeli beberapa buku cerita rakyat Indonesia. 

Awalnya Ruang Baca Kecil dibuka pukul 16.00 sampai 18.30. Jadwal itu ternyata tidak sesuai dengan aktivitas kebanyakan anak yang punya jadwal mengaji di sore hari. Kebanyakan anak justru datang di malam hari. "Pernah juga jam sembilan pagi, aku baru ngepel, ada yang datang mau baca buku," cerita Ika. Ada pula anak yang datang saat Ika memasang tanda TUTUP di depan pintu. Angin yang bertiup kencang ternyata membalik tanda itu menjadi BUKA. Akhirnya, Ika dan Adven memutuskan untuk tidak memberlakukan jam buka dan tutup.     

Awalnya hanya ada tiga anak yang datang belajar dan membaca. Dalam waktu singkat jumlah itu bertambah menjadi 11 anak dan membengkak menjadi 20 anak. Sebagian anak duduk di dalam ruang tamu, sisanya terpaksa di teras rumah. "Kita membeli meja tulis kecil lagi dan mengganti lampu teras supaya lebih terang," kata Adven. Anak-anak sangat tertarik melihat buku bergambar. Mereka suka membaca komik dan buku ensiklopedia. 

Ruang Baca Kecil sempat tutup di awal masa pandemi. Ika dan Adven memperhatikan anak-anak tetap bermain di luar rumah seperti biasa meskipun sedang dalam masa pandemi. Akhirnya mereka pun kembali membuka Ruang Baca Kecil dengan sistem belajar bergiliran (shift). "Satu shift lima anak. Mereka bisa menulikan namanya di papan tulis di depan rumah," terang Ika.   

       

Orang Kaya

Tidak pernah sedikitpun terlintas di benak Ika dan Adven niatan untuk mendapatkan keuntungan finansial. Mereka hanya ingin berbuat baik untuk orang lain terutama anak-anak. Suatu sore, seorang tetangga dekat rumah bertanya pada Ika. "Tante, kenapa sih ga memungut biaya? Tante mah kalau begitu bisa jadi orang kaya!" kata tetangga itu. Ika mengakui kondisi yang ada saat ini merupakan potensi bisnis yang cukup baik. Namun tujuan Ika dan Adven sejak awal memang bukanlah mencari keuntungan. "Kita cuma menyediakan ruangan kok. Mereka belajar sendiri. Kalau tidak tahu baru nanya," kata Ika.       

Ruang Baca Kecil, yang tutup hanya di hari Sabtu, pernah satu kali mendapatkan bantuan tenaga pengajar dari mahasiswa yang tempat tinggalnya tidak jauh. Sayang kesibukan sebagai mahasiswa menghalanginya konsisten ikut mendampingi anak-anak belajar. Ruang Baca Kecil juga mendapat dukungan dari warga sekitar. Salah satunya adalah air mineral gelas plastik yang disediakan secara rutin. "Kita minta untuk diganti jadi galon saja dan anak-anak datang bawa botol minum," ujar Ika. Tidak hanya itu, ada pula bantuan dari rekan-rekan Ika dan Adven yang mengirim buku, botol minum, komik, atau diskon pembelian buku.   

Suatu hari, Ika sedang mengobrol bersama tetangga sebelah rumah. Tidak ia duga sebelumnya, sang tetangga menyelipkan amplop di tangannya. Ika menolak. Tetangga itu bersikeras dengan mengatakan dana diberikan untuk melengkapi fasilitas. Ika terharu dan menerimanya dengan penuh rasa syukur. "Saya merasakan betul bahwa kalau kita menabur yang baik maka kita juga akan menuai kebaikan," katanya.     


Tidak Boleh Nge-Gang 

Ika dan Adven menyadari kemampuan setiap anak berbeda. Anak yang sekelas pun punya cara memahami pelajaran yang berbeda. Ika dan Adven mengamati setiap anak dan mempelajari cara mereka mencerna materi. "Kita tidak menggunakan metode ajar tertentu. Kita cuma fokus ke cara mengajarnya gimana. Anak ini harus diginiin, anak ini harus digituin," terang Ika. 

Adven bercerita, ada pula anak yang hanya butuh ditemani dengan duduk di sampingnya. "Kalau ditinggal, dia jadi tidak bisa kerjakan tugas," kata Adven. Ada anak yang mengambek kalau ditinggal. Ada pula anak yang cemburu kepada anak lain karena merasa tidak mendapatkan perhatian. Ada anak yang sebetulnya bisa mengerjakan tugas sendiri namun butuh suasana belajar yang lebih nyaman. "Mereka cuma butuh diperhatikan saja sebetulnya," Adven menyimpulkan.

Ika menyadari para orang tua anak didiknya bukanlah orang tua yang tidak peduli pada anak-anaknya. "Mereka hanya tidak punya cukup waktu karena sibuk bekerja," ujarnya. Tidak sedikit orang tua yang baru mengetahui tugas sekolah anaknya setelah mendapat informasi dari Ika. Berkat Ruang Baca Kecil, Ika dan Adven menyadari banyaknya pihak yang membutuhkan bukan cuma bantuan finansial, namun lebih berupa perhatian dan pendampingan.    

Beberapa anak berpesan pada anak lainnya meja belajar mana yang hendak ia gunakan dalam belajar. Ada yang lebih suka meja dengan gambar Hello Kitty atau Avengers dan menolak belajar bila tidak menggunakan meja kesayangannya. Ada anak-anak yang berebut salah satu bantal yang memang kebetulan paling empuk. Ada juga yang berebut posisi dekat kipas angin.

foto diambil dari akun Instagram ruang baca kecil

 

"Yang paling lucu ada anak yang bilang ke anak lainnya 'Kamu kemarin sudah merebut Oom dari kami. Sekarang kamu mau merebut Tante'," kata Ika sambil terkekeh. Rupanya anak-anak itu bertempat tinggal di Rukun Tetangga (RT) yang berbeda satu sama lain. Ika pun menengahi. "Tidak boleh nge-gang. Semua sama. Semua dapat perhatian yang sama," kata Ika.       

Tantangan paling berat adalah membiasakan anak-anak untuk menaati protokol kesehatan, terutama mengenakan masker bila pergi keluar rumah. Anak-anak itu, terang Ika, masih merasa sangat aman sehingga tidak merasa harus mengenakan masker. Di Ruang Baca Kecil, Ika dan Adven mewajibkan semua anak mencuci tangan dan mengenakan masker. Mereka juga menyediakan tempat cuci tangan dan hand sanitizer sambil rutin menyemprotkan cairan desinfektan di saat jam kosong.   

Untuk membangun motivasi belajar dan membaca anak-anak, Ruang Baca Kecil mengadakan agenda pemberian penghargaan. Penilaiannya dilakukan secara sederhana, yaitu peserta belajar dan peminjam buku terbaik. "Kita menghargai perkembangan anak-anak," kata Ika. Penghargaan diberikan sebulan sekali yaitu dengan memberikan ragam keperluan sederhana seperti botol minum dan komik.  


Guyub

Ika dan Adven merasa mendapatkan banyak sekali manfaat dari Ruang Baca Kecil. Mereka bisa lebih kenal dengan sesama warga dan mendapatkan penerimaan yang sangat baik. Tidak hanya itu, sebagai guru, mereka mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan ide dan kreativitas. "Banyak ide yang menanti kita wujudkan," kata Ika yang mengaku cemas bila masa berlaku kontrakan rumah habis dan harus meninggalkan daerah itu.  

Lewat akun Instagram Ruang Baca Kecil, Ika sering bertegur sapa dengan ruang baca lain di seluruh Indonesia. Ia kemudian menyadari betapa beruntungnya Ruang Baca Kecil yang berada di pertengahan kota sehingga lebih mudah untuk mencari fasilitas tertentu. "Ada banyak ruang baca yang ada di desa dan sulit mencari buku," katanya. Ia sering berbagi kisah dan berniat suatu hari akan mengadakan kerja sama dengan ruang baca lainnya. 

Adven mengatakan, ia jadi lebih banyak berefleksi terkait profesinya sebagai guru. Ia mendapati tidak sedikit murid yang mendapat tugas dari guru tanpa pembekalan apapun. Guru tidak menerangkan materi dan tidak memberikan catatan apapun. "Aku jadi semakin berefleksi : aku harus jadi guru yang seperti apa sih?" ceritanya. Ia menyayangkan banyaknya guru yang membiarkan anak mencari jawaban sendiri tanpa sedikitpun pengarahan hingga akhirnya anak-anak terlalu sering menggunakan gawai.

Tidak cuma itu, Adven juga bersyukur atas bertambah banyaknya referensi bacaan anak-anak yang ia ketahui. Ia makin mengenal bacaan yang cocok untuk anak dengan perkembangan usia tertentu. 

Ke depan, Ika dan Adven mengaku tidak punya target yang terlampau muluk-muluk. "Kalau ada dana, kita akan beli buku. Kalau ada kelebihan rezeki, kita beli fasilitas lainnya," kata Ika. "Aku jadi seneng sih karena jadi ada banyak buku bacaan di rumah, hahaha!" kata Adven semangat.

beberapa koleksi bacaan Ruang Baca Kecil



 Ruang Baca Kecil

Comments

  1. Terimakasih sudah menulis kisah kami. Semoga menginspirasi banyak orang 😊

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Terima Kasih Ahok!

Perjalanan Ananda dan Kehadiran Sang Idola

Dasar Kamu Enggak Normal!