pérspéktif Seto Parama Artho - Ceret Angkringan Seto

Rasa yang muncul dari jutaan kisah mewarnai perjalanan hidup setiap manusia. Ada rasa yang muncul dari pengalaman lucu nan konyol, jatuh cinta, menunggak uang sewa kontrakan, memijat punggung Ayah, mencium aroma kertas buku baru, juga rindu masakan Mama di kampung halaman. Manusia bisa memaknai tiap kepingan cerita secara mendalam dengan mencoba untuk peka dan berefleksi.

Sungguh sayang percepatan kehidupan modern membuat orang seringkali fokus hanya pada hal serba besar, serba terukur, dan serba terencana. Kepingan kecil terlewat. Berlalu (seakan) tanpa makna.

Melalui karya sketsanya, Seto (48) mengajak kita sejenak berhenti, menarik napas dalam-dalam, dan mengambil jarak dari kesibukan sehari-hari. Kita diajak untuk memaknai kepingan kecil yang seringkali justru menjadi representasi kisah hidup besar. 

Seto sengaja tidak memilih cuplikan besar, lengkap, rumit, dan megah. Ia senang pada kepingan kecil. Lebih personal katanya. Kesan yang muncul sederhana, namun sungguh ramai tuturan cerita yang muncul di kepala. Terlebih untuk mereka yang punya kemiripan latar belakang dengan sang seniman.    
    
Sketsa ceret angkringan karya Seto memunculkan banyak cerita. Siapapun yang pernah singgah di Yogya akan kembali merasakan kehangatan suasana angkringan. Segera saja muncul kenangan menikmati nasi kucing dan gorengan mendoan hangat sambil duduk di bangku panjang berbagi cerita bersama sahabat.    

akun YouTube Seto Parama Artho


"Aku pengen ngajak wong dinggo wani cerito jane. 'Nggambaro'. Cerito tentang uripmu. (Aku ingin mengajak orang-orang untuk berani bercerita. 'Menggambar'-lah. Ceritakan kisah hidupmu.)"

Berikut sekilas obrolan saya bersama Seto Parama Artho, seorang arsitek yang menemukan keasyikan bercerita lewat sketsa.   


+++


Cerita
Sketsa adalah makanan sehari-hari para arsitek, seniman, dan desainer. Segala sesuatu bermula dari sketsa. Maka, sebagai arsitek, tidak sulit bagi Seto untuk terjun di dunia sketsa. Ia pun bergabung dengan komunitas Urban Sketcher.    

Seto, yang terbiasa menggambar serba terukur di dunia arsitektur, menemukan kebebasan di dunia sketsa. Ia pernah memilih cara untuk bercerita melalui tulisan panjang, rumit, dan serius. "Memang ada kepuasan tersendiri," akunya. Namun rupanya media itu kurang membuatnya rileks. Seto masuk rumah sakit akibat tekanan darah tinggi. Seorang suster perawat menghampirinya. Sambil geleng-geleng kepala suster itu berkata heran,"Duh, kenapa toh, mas.." 

Saat bercerita lewat sketsa, Seto memilih untuk berjarak dari tatanan arsitektur. Sketsa Seto menggambarkan suasana atau atmosfir sambil tetap memperhatikan detil. "Contohnya seperti jendela atau teras rumah tua," kata Seto. Namun objek sketsa yang paling ia sukai adalah sosok manusia. Manusia ia maknai sebagai subyek utama yang menggelar kehidupan. Seto sungguh jatuh cinta pada penuturan kisah hidup manusia lewat sketsa.    

Ada banyak orang yang mengagumi karya Seto dan ingin ikut berekspresi lewat seni. Kebanyakan mengeluh tidak bisa menggambar atau bermain musik. Seto mengajak bergabung dan belajar bersama. Sayang, banyak yang enggan karena merasa belum yakin dengan dirinya sendiri. Bagi Seto, itu bukan perkara bisa menggambar atau tidak. Jauh lebih dalam, itu adalah perkara tidak bisa menceritakan kisah hidupnya. "Kasihan sebetulnya," ujarnya. 

Orang yang mampu menceritakan kisah hidupnya, sesederhana apapun itu, adalah pribadi yang mensyukuri kehidupan. Ia sadar dan mengambil tanggung jawab penuh atas semua keputusan. Tiap kepingan kecil dalam hidup dimaknai mendalam. Hari, jam, menit, dan detik berlalu istimewa karena ia sadar dan menikmati setiap detil.  

Seto berharap, orang yang melihat karya sketsanya berani mencoba bercerita. "Kalau kita bisa merayakan cerita hidup, akan sangat menarik sebetulnya. Sekecil apapun itu," kata Seto. Selain lebih personal, rupanya secara sengaja Seto menggambar kepingan-kepingan kecil agar orang yang melihat merasa yakin bahwa pun gambar sederhana bisa menyampaikan banyak cerita. Satu pesan Seto,"Buat yang sederhana saja."  

Jangkar
Satu waktu, Seto menggelar pameran sketsa berkisah tentang suasana Kotagede, Yogyakarta. Sesuai ciri khas Seto, sketsa di pameran itu menggambarkan penggalan-penggalan sudut kota. Kepingan-kepingan kecil yang khas dan punya cerita kuat. Tembok kayu, jendela, atau sepeda tua. 

Satu orang muda masuk dan berjalan menikmati pameran. Kedua tangan ia lipat di belakang. Santai langkahnya. Ia sampai di salah satu sketsa dan tiba-tiba berhenti. Tatapannya lurus mencerna sketsa salah satu sudut Kotagede. Ia menikmati sapaan yang muncul dari sketsa itu lama sekali. Nyaris tidak bergerak seperti tekun mendengarkan tutur kisah kawan lama. Seto menghampiri dan menyapa. Mereka berdua sama-sama punya kenangan hidup yang kuat di sudut Kotagede. 

Dalam kesempatan pameran lainnya, Seto berbincang dengan seorang berpenampilan rapi dan wangi. Ia adalah seorang pengusaha yang sibuk mondar-mandir Jakarta - Singapura. Seto menunjukkan padanya alat kerja sehari-hari. Buku sketsa, cat air, pensil, dan inhaler (Seto penderita asma) yang semuanya cukup usang karena sering ia pakai. 

Seto menyodorkan buku sketsa pada sang pengusaha. Ia membalik halaman demi halaman. Awalnya ia merasa senang dan kagum pada pilihan Seto untuk menggambar kepingan-kepingan kecil. Perlahan ia menunduk lebih dalam menghayati sketsa demi sketsa. Semakin lambat ia membalik halaman demi halaman sketsa. Air mata sang pengusaha kaya menetes. "Saya lelah," ujar pengusaha itu pada Seto.        

Seto mahfum. Kencangnya ritme kehidupan sering membuat orang tegang dan meletakkan perhatian melulu pada hal besar serba terukur. "Padahal dia sendiri adalah kepingan kecil dari hidupnya," kata Seto. Sketsa kepingan kecil Seto, yang bercerita banyak hal, telah menyentuh hati orang lain dan memunculkan rasa haru. 

Kepingan kecil kehidupan, kata Seto, sangat menarik untuk diceritakan. Itu adalah jangkar yang bisa dijadikan patokan untuk merefleksikan hidup sehari-hari. "Buang beberapa bagian gambar supaya orang bisa ikut berimajinasi," tutur Seto memberi tips.    

Simbok
Seto senang membaca buku untuk terus mengasah akal dan nurani. Ahmad Tohari dan Pramoedya Ananta Toer ia sebut sebagai dua dari banyak 'guru tidak langsung'. Tulisan mereka membuat Seto belajar cara melihat dunia. 

Ia juga sering mendengarkan musik, rekaman ataupun langsung. Suatu waktu, Seto datang ke pelataran Kraton Yogyakarta menyaksikan penampilan musisi jazz Luluk Purwanto dan grupnya. Di sana, ada banyak simbok penjaja makanan. Seto bertanya dalam hati, mungkinkah simbok-simbok ini paham musik jazz yang Luluk tampilkan? 

Satu momen, Luluk dan grup memainkan tembang dolanan Jawa Tengah, Lir Ilir. Rene van Helsdingen, suami Luluk, memainkan musik Lir Ilir di piano sementara Luluk membangun suasana syahdu dengan bebunyian kacang-kacangan di atas tampah. Atmosfir konser beranjak  teduh. Simbok-simbok penjaja makanan berjalan maju ke dekat panggung. Musik berangsur lembut. 

Lembut.. 

Lembut... 

Selesai....... 

Perlahan Rene mengambil mikrofon dan, dengan logat Belanda, berujar,"Ma - tur nu - wun." Penonton, terutama simbok-simbok tadi, bersorak girang. "Mereka membangun dialog yang luar biasa dengan penonton," ujar Seto kagum.   

Selain membaca buku dan mendengarkan musik, pergi berjalan-jalan juga Seto anggap sebagai meditasi yang memunculkan ribuan ide. "Tidak harus mahal atau jauh. Yang penting berjarak dari kehidupan sehari-hari," jelas Seto.  

Seto punya kebiasaan unik saat hendak menggambar sketsa suatu lokasi. Ia tidak bisa serta merta duduk dan membuat sketsa. "Harus cari 'klik'-nya dulu," katanya. Ia pun berjalan mengitari atau mencari makan sambil mengobrol dengan penjajanya. Seto mencoba merasakan 'sesuatu' yang mengundangnya untuk menggambar. "Lebih sulit menggambar kalau tidak dapat klik-nya. Jadi seperti dipaksakan," terang Seto. Meski begitu, terkadang sedikit memaksakan diri pun memberikan manfaat positif. Ia mewaspadai tipisnya perbedaan antara rasa malas dan tidak menemukan 'klik'. "Di bidang seperti ini, kita harus exercise terus," tambah Seto yang mengaku rindu berkolaborasi dengan pegiat bidang seni lain. 

Sebelum mulai menggambar, Seto sudah membayangkan akan seperti apa gambar jadinya. Ia juga menentukan perasaan apa yang ia kehendaki muncul di hati orang yang melihat gambar sketsanya. Pesan itulah yang sungguh penting dan menjadi nyawa dari tiap karya seni. 

Andong
Dinding rumah Seto kecil penuh coretan. Orang tua membebaskan Seto dan Bismo, kakaknya, untuk menggambar apapun di manapun. Sang Ibu juga senang membatik. Seto kecil pun merasa betah di rumah karena suasana menggambar sungguh hidup. 

Usia SD, Seto mulai senang menggambar berbagai hal yang kelihatan. Suatu sore, sebelum maghrib, Seto kecil berlari kencang satu kilometer jauhnya ke arah jalan raya. Terburu-buru ia berlari tanpa alas kaki. Satu tujuannya, melihat andong yang lewat di jam tertentu. Beruntung, ia sampai di tepi jalan raya sebelum andong lewat. Suara andong mulai terdengar. Andong berjalan mendekat. Seto kecil bersiap-siap. Saat andong melintas, dalam hitungan detik mata Seto kecil merekam semua detil andong. Sambil bernyanyi kecil, Seto kecil berlenggok pulang dan menggambar andong hingga detil paling kecil.  

Ada cerita unik saat Seto duduk di bangku SMA. Salah satu guru, Pak Heru namanya, mendatangi Seto. Ia berujar,"Seto, saya tahu kamu senang menggambar. Kamu bebas menggambar selama pelajaran saya. Saya tidak akan memberi kamu tugas yang penting kamu bisa lulus pelajaran saya. Setelah lulus, carilah bidang yang berhubungan dengan menggambar." Seto remaja bengong. Ia heran mendengar sikap Pak Heru yang sungguh berbeda dari guru kebanyakan. Seto mengangguk senang dan semakin bersemangat menggambar. "Nggih, Pak! Matur nuwun!"    

Ia sempat ragu menjadikan menggambar sebagai masa depan. Ayahnya membaca keraguan itu. Ia duduk di sebelah Seto yang kebingungan dan meyakinkannya untuk mengambil jurusan arsitektur. Akhirnya Seto menjalani kuliah arsitektur di Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta dan sempat meneruskan studi filsafat di Universitas Katholik Widya Mandala, Surabaya. 

Barista
Satu impian Seto yang sedang ia kejar adalah membangun galeri. Ia ingin ada wadah khusus untuk memamerkan karya-karyanya. "Semacam museum kecil," katanya. 

Ia juga memimpikan karya-karyanya, bersama karya seni lain, mendapat kesempatan untuk tampil di area publik. Seto melihat sudah banyak karya seni ditampilkan di kafe dan area publik. Sayang, karya seni itu masih bersifat pajangan dan minim melakukan dialog dengan orang yang melihatnya. "Mungkin saya harus jadi barista untuk buka kafe sendiri dan punya ruang pameran, hahaha!" ujar Seto.

Kembalikan
Beberapa kali Seto merasa bahagia saat membaca pesan yang masuk lewat akun  media sosialnya. Beberapa orang mengaku sangat mengenal karya-karyanya dan mulai berani berkisah tentang hidup lewat aktivitas menggambar. Tidak sedikit juga orang yang meniru kekhasan Seto dalam menggambar cuplikan atau kepingan kecil.  

Kepingan kecil atau besar, sketsa atau musik, Seto sangat mendukung usaha semua orang untuk menerima diri dan menceritakan kisah hidupnya lewat karya seni. Ia merasa senang saat bisa membagikan pengalaman pada orang lain. 

Di mata Seto, sungguh penting bagi semua pelaku seni untuk masuk ke dunia akademi. Seto sendiri sering menjadi pembicara di kampus dan berbagai sesi berbagi (sharing session). Satu hal yang Seto akui sangat penting namun sulit ia lakukan adalah menjadi pengajar yang baik bagi anak-anak. Seto mengagumi seniman-seniman hebat yang punya kemampuan komunikasi lentur dengan anak-anak. "Usia anak-anak sangat baik untuk menanamkan pemikiran yang baik," katanya.  

Seto sungguh bersyukur atas kehidupan yang ia jalani. Ia meyakini semua pencapaian yang ia alami saat ini bukan usaha pribadi semata. Besarnya dukungan teman-teman dan keluargalah yang membuat Seto bisa bertahan menghidupi dunia yang ia pilih hingga sekarang. "Semua kebaikan ini harus saya kembalikan," tandas Seto.


Seto Parama Artho (akun IG @setoparama)


Comments

Popular posts from this blog

Terima Kasih Ahok!

Perjalanan Ananda dan Kehadiran Sang Idola

Dasar Kamu Enggak Normal!