Refleksi Akhir Tahun (3/4) : Restoran Pandemi

Apakah teman-teman memperhatikan berita kenaikan jumlah pasien positif virus corona belakangan ini? Kondisi kita mencemaskan bukan? Kapasitas rumah sakit semakin penuh dan pasien meninggal terus bertambah. Plus varian baru virus corona yang sangat cepat menular meski dikatakan dampaknya tidak lebih parah dibanding varian lama. 

Di sisi lain, tetap bisa kita lihat banyaknya aktivitas liburan masyarakat. Orang-orang memutuskan untuk pergi ke luar kota atau tempat wisata. Sebagian masyarakat menunda liburan dan terpaksa menyapa sanak keluarga secara daring, sebagian lagi tetap berangkat dengan berbagai moda transportasi dan, entah sadar atau tidak, memutuskan untuk mengambil resiko.        

Di berbagai tempat bisa kita lihat orang yang, lagi-lagi, entah sadar atau tidak, memutuskan untuk menjadi anggota masyarakat yang bersikap acuh dengan tidak memakai masker dan mengadakan hajatan sambil melayangkan ancaman ke Pak Lurah bila melarang. Bagi masyarakat kota yang terbiasa hidup individualis, absen di undangan hajatan itu perkara biasa. Berbeda dengan suasana perkampungan. Orang tetap datang ke berbagai hajatan karena cemas dengan konsekuensi sosial yang berpotensi muncul. 

Pertengahan tahun, seorang kenalan yang bekerja sebagai guru Sekolah Dasar, memutuskan untuk pulang kampung ke Jawa Tengah sambil bekerja dari rumah (keputusan yang aneh sebetulnya karena sesekali guru masih harus masuk untuk sekadar membereskan administrasi). Ia dengan tegas menyatakan bahwa pandemi virus corona hanyalah drama raksasa yang direka oleh pemerintah dunia untuk meraup keuntungan finansial. Rumah sakit mendapat banyak uang dari banyaknya pasien positif virus corona sementara pemerintah mendapat untung dari penjualan vaksin (saya belum tahu apa yang ia katakan setelah Presiden Jokowi menyatakan vaksin gratis). 

Teman saya ini tidak sendirian. Ada banyak orang yang memutuskan untuk berpikir demikian. Mungkin saja teman saya ini punya bukti yang kuat untuk mengatakan bahwa pemerintah dan rumah sakit sedemikian brengsek sampai tega mengerjai masyarakat. Bisa jadi demikian.  

Kakak saya bekerja sebagai perawat di Sukoharjo, Jawa Tengah. Suatu saat saya tanyakan kondisi itu pada mereka. "Ah, kita fokus bekerja saja di dalam rumah sakit. Ada banyak yang harus kita kerjakan," jawab mereka. Wow, dingin sekali. Pilihan sikap yang keren! Awalnya saya kira mereka akan marah dan kecewa. Tidak tuh. Mereka memilih bersikap dewasa dan fokus pada hal yang bisa mereka kerjakan. Salut!

Seorang teman lainnya menolak menerapkan protokol kesehatan karena belum pernah merasakan sendiri dampak terinfeksi virus corona. Hmm, tunggu sebentar... Bukankah kita tidak perlu merasakan kecelakaan pesawat terbang untuk menyadari pentingnya sabuk pengaman dan mematikan sinyal ponsel selama penerbangan? Bukankah kita tidak perlu mengalami amputasi kaki akibat tertabrak mobil untuk menyadari pentingnya berhati-hati dalam menyeberang jalan?   

Tugas pemerintah memang membuat masyarakat tenang dan tidak panik. Namun, bila kemudian masyarakat kebablasan dan abai, menganggap wabah sudah berakhir (atau bahkan tidak pernah ada), kita semua bisa jadi repot. 

Sebagian orang mengeluhkan kapan wabah akan berakhir sambil memanasi mobil berbagasi penuh karena hendak bepergian ke luar kota sambil mengenakan masker di dagu. Ada ketidakcocokan antara perkataan dan tindakan. Mengatasi pandemi adalah tugas pemerintah. Tugas orang lain. Bukan saya. Terinfeksi pandemi juga adalah jatah orang lain. Bukan saya atau keluarga saya. Pandemi memang ada di Indonesia, tapi khusus untuk orang lain. Saya bukan warga Indonesia jadi tidak perlu peduli.     


Lokus Kontrol

Ada dua cara yang bisa kita gunakan untuk melihat kehidupan. Satu, kita adalah pelaku atas semua hal yang terjadi dalam hidup kita, dan dua, kita adalah semata-mata korban karena tidak bisa mengontrol keadaan. Pilihan pertama disebut dengan lokus kontrol internal. Hidup kita dikendalikan oleh kehendak di dalam diri sendiri. Pilihan kedua, lokus kontrol eksternal. Kita tidak berkuasa apapun atas semua hal yang terjadi dalam hidup kita. 

Pilihan sikap kedua berpotensi lebih besar untuk memunculkan stres karena ketidakmampuan kita dalam mengendalikan kehidupan. Pilihan pertama sebaliknya. Kita memegang kendali penuh atas kehidupan sehingga selalu awas dan waspada terhadap berbagai kemungkinan. 

Munculnya pandemi virus corona jelas bukan ada di kendali kita. Tapi dengan sadar, kita bisa mengendalikan respon atasnya. Kita bisa memilih sikap menjadi korban atas pandemi dan berteriak menuntut orang lain membereskan hidup kita, atau kita bisa menjadi pelaku yang ikut bertanggung jawab atas, minimal, kehidupan kita sendiri.

Saya membayangkan, bila semua orang dengan sadar memutuskan untuk ikut bertanggung jawab atas pandemi, maka situasi mengerikan di negeri ini bisa segera dikendalikan. Bukan hilang atau selesai, tapi terkendali. Pemikiran 'saya bertanggung jawab atas pandemi ini, sekecil apapun peran saya' tentu bisa mempercepat pemulihan situasi.   



Masalah Bersama

Ini mungkin adalah perkataan yang membosankan karena sudah sering sekali diucapkan, tapi memang benar adanya bahwa pandemi adalah masalah kita bersama. Pemerintah tidak bisa bekerja sendirian, pun masyarakat butuh kekuatan berbagai lembaga yang ada di bawah pemerintah. Ayah dan Ibu yang super ketat menjaga diri pun bisa terinfeksi bila anak abai dan berjalan-jalan tanpa protokol kesehatan. 

Saya bukan tenaga kesehatan. Saya juga bukan pemegang jabatan penting di pemerintahan. Saya cuma tukang sapu jalan, satpam, guru les, supir angkutan daring, pemain musik, pedagang pasar tradisional, atau supir angkot. Apa yang bisa saya lakukan untuk membereskan pandemi ini? Saya tidak mau melakukan apapun. Protokol kesehatan bukan langkah yang tepat untuk mengatasi pandemi. Sudahlah, biarkan saya orang-orang besar itu yang bekerja. Toh mereka lebih cerdas, kaya, dan saya membayar pajak agar mereka bekerja. Awas saja sampai tidak lekas beres! Saya sudah muak hidup susah! 

Kok rasanya, menurut saya, sama seperti orang masuk restoran dan membayar makanan, tapi enggan menyendok makanan dan mengunyah. Saat hendak beranjak dan mendapati diri masih lapar, ia memarahi manajer restoran.

Comments

Popular posts from this blog

Terima Kasih Ahok!

Perjalanan Ananda dan Kehadiran Sang Idola

Dasar Kamu Enggak Normal!