Refleksi Akhir Tahun (4/4) : Makhluk Sejuta Batasan

Ini hari terakhir di tahun 2020. Tahun dengan angka yang manis namun keras menampar umat manusia. Semua orang dikagetkan dengan situasi pandemi. Tak satupun siap menghadapi meski banyak pula yang justru memperoleh keuntungan. 

Hingga hari ini, jumlah korban meninggal terus meningkat. Pada awal pandemi, mendengar korban meninggal akibat virus corona sungguh mengerikan. Satu korban rasanya terlalu banyak. Belakangan, sepertinya kita mulai bebal dan menganggap angka korban meninggal sebagai statistik belaka. "Pandemi bukan urusan saya, infeksi juga tidak mungkin mengarah ke saya". Berapa dari kita yang perilakunya, entah sadar atau tidak, seperti mengatakan demikian?    

Sungguh bersyukur sampai hari ini keluarga saya masih lengkap dan sehat. Kiky masih bisa memasak dan membaca buku. Bapak Ibu di rumah terus bermain bersama Gendis cucunya. Adek dan Adi, suaminya juga sehat. Bapak Ibu mertua di Solo juga demikian bersama dua kakak ipar saya yang berprofesi sebagai perawat. Tidak ada anugerah lain lebih indah ketimbang ini. Terlebih dalam situasi pandemi seperti sekarang. 

Selama beberapa tahun belakangan, Bapak bolak-balik rumah sakit. Ada yang perlu diobati dengan jantung dan kakinya. Biaya berobat mandiri selangit, jadi Bapak mengandalkan BPJS. Hampir sebulan sekali Bapak berangkat jam lima pagi ke Rumah Sakit Fatmawati untuk mengambil nomor antrian hanya supaya bisa masuk ruang periksa sekitar jam dua siang. Kalau berangkat kesiangan, Bapak harus menunggu sampai sore. 

Proses berobat Bapak lakoni hampir selama dua tahun. Bapak tidak mau saya temani. Beliau tidak mau menyusahkan orang lain. Itu prinsip hidup Bapak sejak dulu. Meskipun sejujurnya menemani Bapak sama sekali bukan suatu kesusahan bagi saya.

Akhir cerita berlangsung antiklimaks. Setelah hampir menjalani operasi kaki dan terpaksa ditunda karena harus mengobati banyak hal lainnya, kaki Bapak sembuh dengan sendirinya. Siapa sangka setelah sempat sedih tidak bisa menemani Gendis berlarian, sekarang Bapak bisa jalan kaki keliling kompleks lebih dari satu jam?

Dari situ saya belajar tentang kesetiaan menjalani perkara kecil. Banyak dari kita, terutama saya, yang meremehkan perkara kecil dan ingin segera meraup perkara besar. Lupa bahwa Candi Borobudur disusun dengan jutaan bebatuan kecil. Tidak sabar ingin segera kaya dan sukses. Lupa bahwa kebahagiaan justru ada di dalam proses. 

Melihat perjuangan Bapak menyesuaikan diri dengan fasilitas BPJS, yang sungguh rumit dan lama prosesnya, sempat terpikir kenapa Bapak tidak menguras tabungan untuk berobat mandiri saja. Meskipun setelah itu tidak punya uang, toh Bapak bisa segera sembuh. Pikiran Bapak tidak sependek dan sedangkal saya rupanya. Sialan! Beliau jauh lebih sabar, bijak, dan berpikiran jauh. Ibu pun begitu. Ibu tetap sabar menemani Bapak berproses dan mengelola keuangan keluarga dengan sangat detil. Sangat-sangat detil. Harus begitu. Ceroboh finansial itu cuma boleh untuk orang berlebih duit.

Dari Bapak saya belajar untuk setia menjalani proses. Dari Ibu saya belajar untuk setia menjalani proses. Keduanya sama saja. Sepertinya mereka menyindir saya yang tidak sabaran dan ingin segera sampai. 'Sampai' ke mana? Entah. Wong tujuan saja tidak bisa menjabarkan. Tidak sabaran cuma boleh untuk orang berlebih informasi tentang masa depan.


Sebagian besar waktu di tahun 2020 saya habiskan dengan berada di rumah bersama Kiky, istri saya. Komunikasi yang tadinya cukup jarang karena perbedaan waktu kerja, jadi sangat berlimpah. Adaptasi butuh dilakukan dengan cepat karena kediaman tidak sebesar Istana Negara, jadi suara piano dan suasana kelas daring Kiky bisa saling berbenturan. Tentu tidak nyaman rasanya, paling tidak bagi saya.

Di awal pandemi, saya masih merokok. Hampir tiap malam saya keluar rumah dan merokok di depan garasi. Itu jadi momen yang tepat untuk mengobrol. Saling bertukar cerita minimal tentang apa yang dirasakan di hari itu. Bagi saya, tidak mudah menerima kenyataan harus beradaptasi dengan keadaan. "Kok harus ngalah?" pikir saya.

Percayalah, mau ngotot sekeras apapun, satu-satunya jalan adalah sama-sama berjalan ke tengah. Bapak pernah bilang, hubungan apapun akan langgeng bila pola pikir 'yang penting pasanganku bahagia' dicamkan dalam hati. Dengan kepala dingin dan hati terbuka, ternyata tidak ada yang namanya 'mengalah' di dalam sebuah hubungan. Ini bukan mengalah tapi mencari jalan tengah. Berbeda jauh. Kakak yang mengalah tidak mendapat jatah kue yang ia berikan untuk adiknya. Atau minimal mendapat jatah yang lebih sedikit. Pasangan yang mencari jalan tengah justru mendapat Honda Jazz saat sebelumnya ngotot minta sepeda Polygon. 

Percayalah, 'mengalah' tidak sama dengan 'mencari jalan tengah'! Namun, memang harus kita akui, mencari jalan tengah butuh proses panjang dan kadang rasanya menyakitkan. Masak sayur asem lebih melelahkan ketimbang mie instan, bukan?


+++    


Kemarin malam, saya sempat diskusi dengan Kiky tentang apa pentingnya selebrasi tahun baru. Saya bukan bicara tentang mengumpulkan massa dan mengadakan konser musik di Gelora Bung Karno. Saya bicara tentang duduk diam dan merenung. 

Bukankah merenung bisa dilakukan tiap hari? Bukankah merayakan hari baru bisa diselenggarakan tiap malam? Kenapa harus ada yang namanya tahun baru untuk sekadar duduk merefleksikan kehidupan?

Setuju seratus persen refleksi bisa dilakukan setiap hari. Namun, manusia butuh batasan dalam hidup untuk mengingatkan bahwa kita adalah makhluk sejuta keterbatasan. Peringatan tahun baru bisa dimaknai sebagai pengakuan manusia atas kekuatan yang lebih besar, yaitu guliran waktu. Kita tidak bisa mengulang ataupun mempercepat waktu. Manusia punya kekuasaan nihil atasnya. Bill Gates atau Jurgen Klopp sekalipun. Jadi, manusia wajib menyesuaikan diri dengan kekuatan itu.

Dengan menyadari batasan dan memaknai diri sebagai 'bagian kecil dari pohon raksasa kehidupan' tentunya kita bisa lebih bijak menyikapi kehidupan. Semua hal yang ada pada saya saat ini bukanlah sebenarnya milik saya. Semua yang bisa saya lakukan bukanlah semata-mata berkat kerja keras saya. Sepuluh jari tangan yang saya miliki dan bisa menekan tuts piano dengan baik ini bukan sepenuhnya milik saya. 

Benturan batasan membuat kita menilik ke belakang. Apa sih yang saya cari dalam hidup ini? Apa yang harus saya tuntaskan dalam hidup? Apa tugas saya sebagai makhluk hidup? Apa yang bisa saya tinggalkan setelah saya pergi nanti? Apakah satu tahun ini hidup saya sudah sesuai dengan tujuan awal itu? 

Saya bukan ilmuwan, tapi mungkin dari sudut pandang tertentu tidak ada satupun makhluk hidup yang lebih terbatas ketimbang manusia. Bisa jadi.

Selamat tahun baru 2021! Semesta melindungi!


 

Comments

Popular posts from this blog

Terima Kasih Ahok!

Perjalanan Ananda dan Kehadiran Sang Idola

Dasar Kamu Enggak Normal!