Selebrasi Konsistensi

Rabu (24/3) malam, saya akan berbincang dengan sahabat lama, Diaz Radityo, yang membantu penerbitan buku Kepincut Ratu Sari lewat penerbitan Bakbuk.id. Topik yang dipilih adalah konsistensi menulis. Diaz yang memunculkan ide itu. Cepat saya menyetujuinya. Senang rasanya mendengar usulan topik perbincangan itu dilempar pada saya. Saya rasakan sebagai apresiasi Diaz, yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk menulis, atas konsistensi saya menulis.

Buku Kepincut Ratu Sari, singkatan dari Kelas Piano dalam Cuplikan Tulisan Seratus Hari, adalah kumpulan tulisan blog. Saya tulis di pertengahan 2020 selama 100 hari berturut-turut tanpa bolong. Saya suka menulis tapi belum menghabiskan puluhan jam dalam sehari untuk berlatih menulis. Saya adalah seorang guru les piano.

Tanya jawab di bawah ini adalah wawancara imajiner saya dengan diri saya sendiri.   


Mengapa menulis selama 100 hari?

Kembali kepada tujuan awal dari kegiatan menulis itu sendiri. Bagi saya, menulis adalah aktivitas menenangkan pikiran. Saya butuh aktivitas ini. 

Saya dianugerahi pikiran yang cepat sekali berpindah-pindah. Lompat sana-sini tanpa jeda. Sering saya kelelahan meski aktivitas fisik minim. Kegiatan menulis membantu saya menata pikiran. Satu per satu. Perlahan-lahan. Seperti membiarkan bubuk kopi mengendap di dasar cangkir.

Lewat media sosial, saya bicara tentang rencana menulis 100 hari ini. Saya kunci komitmen dengan berjanji untuk mengunggah tulisan 100 hari tanpa libur. Tentu malu kalau melanggar janji. Media sosial menjadi dokter atau orang tua yang mengawasi saya minum obat setiap hari.


Mengapa memilih topik dinamika di kelas piano?

Alasan pertama, itu adalah dunia sehari-hari yang saya jalani. Saya punya segudang cerita unik di dunia kelas piano karena sifatnya yang sangat dinamis. Saya sadar, menulis selama 100 hari butuh ide yang tidak sedikit. Lebih besar kemungkinan saya berhenti di tengah jalan kalau memilih topik otomotif apalagi penerbangan yang tidak saya kuasai.

Kedua, kelas piano sejatinya adalah representasi kehidupan. Hmm, sebentar.. Semua aktivitas saya rasa sama. Memasak, menjahit, menulis, bertukang, semua adalah gambaran dari kehidupan yang luar biasa besar dan megah. Saya ingin bercerita tentang dinamika kelas piano dan ikut menyatakan betapa uniknya kehidupan. Cerita-cerita itu lahir di dalam ruang kelas berukuran kecil lagi tertutup, sehingga belum tentu semua orang tahu dan ikut merasakan. Kalau banyak orang bisa ikut merasakannya, semakin banyak orang bisa ikut berefleksi dan semakin mensyukuri kehidupan.   


Bagaimana caranya bisa konsisten menulis selama 100 hari?

Saya yakin kita semua akan konsisten melakukan sesuatu yang kita anggap penting. Contoh sederhana makan, buang air, atau menghirup udara. Semua kita lakukan terus menerus karena meyakini itu penting. Kalau dipaksa berhenti, tubuh bisa protes.

Saya menganggap topik yang saya pilih, dan aktivitas menulis itu sendiri, penting untuk dilakukan. Selama 100 hari, saya sengaja memprioritaskan aktivitas menulis. 



Seringkali saya tidak konsisten melakukan sesuatu karena tidak menganggap itu penting. Atau mungkin ada hal lain yang kita perlakukan sama penting sampai kehabisan tenaga atau waktu. Saat ingin punya penampilan seperti Daniel Craig (53) dan memutuskan rutin berolahraga atau mengatur pola makan namun hanya bertahan selama satu minggu, biasanya karena ada aktivitas lain yang (mungkin tanpa sadar) saya anggap lebih penting. Bagaimanapun, pembuatan prioritas itu perlu. 

Ada beberapa orang yang sering melempar respon sangat dalam atas tulisan saya di blog. Yeay! Saya jadi yakin tulisan saya dibaca (dengan serius) oleh beberapa orang. Tidak banyak tidak apa-apa yang penting ada, dan mendalam. Saya jadi yakin tulisan saya punya dampak. Rasanya seperti mendapat kemenangan-kemenangan kecil yang sangat membantu saya memacu diri konsisten menulis.


Bagaimana cara memilih topik selama 100 hari?

Saya menganggap menulis selama 100 hari berturut-turut bukan kegiatan sederhana. Pikiran bekerja ekstra. Saya mempermudah pekerjaan dengan mengerucutkan (atau 'menyederhanakan') topik di setiap tulisan. Satu tulisan satu sudut pandang, titik. Semakin spesifik topik yang saya angkat di satu tulisan, semakin banyak sudut pandang lain yang bisa saya angkat untuk tulisan berikutnya. 

Contoh bahasan tentang pengajaran dalam jaringan (daring). Tulisan satu mungkin cukup membahas kualitas sinyal. Tulisan dua bisa membahas sistematika cara belajar yang mungkin berbeda dari kelas tatap muka dan cara pengembangannya. Tulisan tiga tentang aplikasi dan peralatan yang digunakan. Tulisan empat tentang cerita unik yang mungkin hanya terjadi di kelas daring. Tulisan lima tentang keluhan betapa rindunya mengalami kelas tatap muka. Tulisan enam tentang komunikasi dengan orang tua murid selama kelas daring. Dan seterusnya. 

Ini menjadi senjata rahasia saya dalam menulis. Istilahnya 'hemat sudut pandang'.


Apa strategi untuk bersahabat dengan kebosanan atau kelelahan?

Tentu saya pernah bosan karena melakukan hal serupa berulang-ulang. Beberapa hal saya lakukan sampai tanpa berpikir karena rutin, seperti mengunggah di beberapa platform medsos dan menulis keterangan (caption). Berbagai cara sederhana saya lakukan seperti berpindah lokasi menulis atau mengajak diskusi Kiky, istri saya, terkait topik yang mungkin belum terpikirkan.                  

Saya juga capek karena sejak bangun tidur sudah harus memikirkan topik apa yang bisa saya tulis di hari itu. Namun karena saya meyakini topik ini penting dan harus diketahui banyak orang, maka saya tetap punya bahan bakar yang hebat sekali. Tulisan-tulisan ini bukan tentang saya, namun tentang anak-anak dan dunia pendidikan musik itu sendiri. Saya cuma media, kurir penyampai pesan, yang kebetulan merasakan warna-warni kehidupan lewat dinamika kelas piano dan kebetulan berinisiatif menuliskannya. 

Cara menyikapi karya semacam ini membuat saya merasa tidak mengerjakan tulisan ini sendirian. Ada tangan-tangan lain yang ikut 'menulis'. Dengan bahasa lain, tulisan-tulisan itu bukan saya yang membuatnya.


Apa dampak yang diharapkan muncul dari buku Kepincut Ratu Sari?

Seringkali, saat sudah terlalu terbiasa dengan suatu hal, saya jadi berpikir 'memang sudah selayaknya demikian' tanpa memikirkan lebih mendalam tepatkah dilakukan demikian. Kelas piano juga demikian. Kelas piano bukan barang baru. Bukan tidak mungkin, apabila tidak mendapatkan penyegaran-penyegaran, saya mengajar les piano tanpa membuat inovasi atau pengembangan sama sekali. Kepincut Ratu Sari adalah cermin bagi saya sendiri. 

Saya juga berharap sedikit refleksi saya bermanfaat untuk teman-teman pengajar piano lainnya. Saya meyakini semua pengajar piano, yang setiap harinya bekerja dengan pikiran dan rasa, punya refleksi versinya masing-masing. Bisa jadi pemaknaan yang teman-teman dapatkan belum saya alami sama sekali. Saya akan merasa beruntung apabila tulisan Kepincut Ratu Sari bisa memunculkan diskusi atau mendapatkan masukan dari teman-teman pengajar.

Beberapa tulisan Kepincut Ratu Sari juga mengangkat topik tentang kehidupan sehari-hari yang dekat dengan dunia anak-anak. Semoga refleksi yang diangkat di dalamnya juga bisa bermanfaat untuk orang tua dalam membangun hubungan dengan putera-puterinya. 

Oh, saya sendiri belum dianugerahi keturunan. Suatu hari nanti, saya akan banyak bertanya dari orang tua lain.               

Comments

Popular posts from this blog

Terima Kasih Ahok!

Perjalanan Ananda dan Kehadiran Sang Idola

Dasar Kamu Enggak Normal!