Yokkk Bisa Yoookk!

Seorang laki-laki berjanggut tebal berjongkok. Ia mengenakan pakaian putih panjang. Ada wadah air warna kuning di sampingnya. Wajahnya ramah tersenyum. Kedua matanya menyiratkan kehangatan. 

Persis di hadapan laki-laki itu duduk seorang perempuan. Ia mengenakan pakaian hitam panjang. Wajahnya tidak jelas terlihat karena tertutup cadar. Sayu terpejam matanya. Pistol warna hitam tergeletak di bawah perempuan itu. Sambil memegangi lengan kirinya, perempuan itu membiarkan laki-laki berjanggut tebal yang mengenakan pakaian putih panjang membasuh kakinya. Entah apa yang perempuan itu rasakan.

Sungguh saya ingin melontarkan terima kasih kepada 'Mas Lanang' (@nanglanangg), akun Instagram yang membuat gambar menakjubkan itu menjadi ada. Mas Lanang cuma menyertakan komentar singkat demikian : "Yokkk bisa yoookk saling mengasihi dan melindungi satu sama lain'. Cara bicara Mas Lanang bebas dari emosi berlebihan. Tenang dan penuh keramahan. Bisa jadi dia juga belajar untuk tenang setelah melihat ekspresi wajah laki-laki yang digambarnya sendiri. Kadangkala manusia memang bisa banyak belajar dari karya yang ia sendiri hasilkan. Bisa dibayangkan ajakan Mas Lanang, yang tenang itu, dijawab serempak banyak orang : 'YOOKKKK!'   

Jumat pagi, beberapa minggu yang lalu, saya bangun pukul lima. Siapkan sarapan dan minum manis hangat. Saya ingin berpuasa di hari itu. Jujur saja, saya belum tahu bagaimana tata cara puasa yang baik dan benar menurut ajaran agama Katholik. Modal saya cuma niat melatih diri. Selepas makan dan minum seadanya, saya memulai aktivitas seharian tanpa makan. Baru di malam hari saya kembali makan.

Tubuh saya belum terbiasa hingga jatuh sakit. Pusing dan mual. "Kun, kerokin dong..." rengek saya pada Kiky, istri saya. Setelah beberapa kali mencoba dengan hasil serupa, saya memutuskan untuk berhenti. Bendera putih. 

Tak terasa, Jumat Agung datang. Penyesalan berkoar. Saya merasa tidak mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Saya merasa tidak ikut melibatkan diri di masa Pra Paskah. Saya umat Katholik tapi tidak sedikit pun memikirkan apa yang sebaiknya saya lakukan. Saya anggota komunitas yang tercatat resmi tapi tidak ikut aktif bergerak. Saya anggota kelompok yang pasif dan memilih opsi bentuk keterlibatan paling bawah. Saya tidak melakukan apapun untuk mempersiapkan diri. Juga tidak sekalipun mengikuti misa di masa Pra Paskah.

   


Saya merasa tersentuh melihat hasil karya Mas Lanang. Gambar itu melahirkan perasaan marah, haru, sedih, gelisah, bangga, takut, dan senang. Saya belum kenal dengan Mas Lanang dan tidak tahu apa agamanya, tapi jelas menghidupi kasih adalah prinsip hidupnya. Mas Lanang tegas melibatkan diri melalui peran yang sangat baik ia jalani, ilustrator buku anak. Ia memutuskan untuk berbuat sesuatu. Menyusun suatu karya yang bisa mempercantik masa Pra Paskah. Dengan sadar, ia terlibat dalam proyek persiapan menyambut kebangkitan Sang Kristus. Hari Paskah tahun 2021 pun jadi lebih bermakna berkat kehadiran karya Mas Lanang. 

Di satu sisi saya ingin memaknai Masa Pra Paskah dengan mendalam. Di sisi lain saya, dengan sadar, memilih untuk tidak melakukan apapun selama 40 hari Masa Pra Paskah. Heh, payah benar!  

Hidup bisa kita maknai sebagai perjalanan. Di dalam perjalanan, seringkali kita berhenti untuk menikmati pemandangan hamparan bukit atau sekadar beristirahat, minum kopi panas sambil makan tahu dan menggigit cabai. Momentum berhenti itu penting. Sebuah perjalanan jadi berarti hanya jika ada momen berhenti. Bisa kita bayangkan perjalanan tanpa sejenak pun berhenti. Kaki bukan lagi pegal, mata bukan lagi berat, pikiran bukan lagi penat. Mati rasa. Manusia akan jadi batangan besi. Benda mati. 


Entah kenapa, satu kata 'keterlibatan' sungguh mengganggu saya. Rasanya seperti mendapat sentilan keras sekali. 'Hayo, kemana saja kamu!' tanpa berani menjawab apapun. Rasanya seperti konangan makan kue tart di siang bolong di masa puasa. Seperti seorang anak yang sudah diberi celengan besar tapi ketahuan sering memboroskan uang. Seorang remaja yang sudah diberi banyak buku dan kesempatan belajar tapi menghabiskan waktu melulu berebut makan malam ayam goreng di PUBG.

Momentum konangan ini baik sekali bagi saya. Semacam tamparan. Sakit memang tapi bukankah obat memang selalu pahit rasanya? Obat untuk menjalani perjalanan ke depan dengan nafas baru. Saya baru sadar. Pantas saja beberapa hari belakangan rasanya seperti mendapat panggilan untuk berhenti. "Stop, Nug! Stop dulu! Stop!" Hmm, dasar saya memang kurang peka. Maaf ya, siapapun kamu yang memanggilku.

Saya memaknai kesadaran untuk terlibat menciptakan hidup yang lebih baik mensyaratkan adanya pandangan kemandirian. Saya adalah pelaku utama di dalam hidup saya. Saya produser atas hidup saya. Saya komposer atas hidup saya. Semua hal yang saya lakukan saat ini sepenuhnya tanggung jawab pilihan saya. Saya memilih penuh kesadaran.

Akan sulit memutuskan ikut terlibat dan bertanggung jawab saat kita merasa hidup kita diatur oleh orang lain. Paling banter cuma menjawab,"Oh saya cuma admin, Pak." Sungguh bodoh, bukan?

Keterlibatan penuh membutuhkan energi besar. Saya jadi ingat kejadian di perumahan tempat saya tinggal. Warga hendak memasang sejumlah tiang untuk menyalurkan koneksi internet ke rumah. Datanglah pesan dari sebuah organisasi masyarakat untuk menyerahkan sejumlah dana. Besarannya tidak main-main. Bisa dijadikan uang muka sepeda motor matic sekaligus sepuluh. "Sebagai dana binaan ormas karena sudah memasang tiang di tempat umum," katanya.  

Satu orang warga, tetangga depan rumah saya, memutuskan untuk terlibat penuh. Ia bergerak setiap hari koordinasi sana-sini. Energi yang ia keluarkan tentu banyak sekali. Dampak positif pun bisa dirasakan warga. Kepastian pemasangan tiang internet perlahan hadir.

Seringkali kita menolak terlibat, entah dalam perkara bermasyarakat, lingkungan hidup, atau kehidupan menggereja, karena merasa ada potensi gangguan terhadap kenyamanan. "Ah, nanti repot." Kadangkala kita juga menganggap suatu urusan cuma menjadi tanggung jawab orang tertentu. Tidak apa-apa membuang sampah di kali toh sudah ada petugas kebersihan, kan? Kalau kali bersih, apa tugas mereka? Astaga.. Kita harus ingat bahwa semua pencapaian besar, entah dalam kemasyarakatan, lingkungan hidup, atau kehidupan menggereja, membutuhkan usaha bersama. Sulit mencapai kemajuan besar bila cuma dikerjakan satu dua orang. 

Keterlibatan dalam menciptakan hidup yang baik adalah bentuk cinta pada Yang Kuasa. Kita bisa menyatakan diri sebagai umat yang taat beribadah, rajin sembahyang dan mengikuti ajarannya dengan menunjukkan bukti nyata. Berkarya untuk sesama. Mulai dari hal paling kecil, di dalam keluarga. Menciptakan suasana yang nyaman untuk hidup sehari-hari di dalam keluarga. Sungguh percuma kalau rajin beribadah ke gereja namun jarang mendengarkan curahan hati pasangan, anak, atau orang tua, bukan?  

Kita boleh lelah. Kita boleh bosan dan penat. Kita juga boleh mengeluh. Kita cuma manusia biasa. Bukan Superman. Tapi teruslah melangkah ke depan. Berorientasi maju. Pada akhirnya kita bisa mengingat pesan penuh opstimisme dari Mas Lanang : "Yokkk bisa yoookk!"


@nanglanangg
sumber : akun Instagram @nanglanangg



Comments

Popular posts from this blog

Terima Kasih Ahok!

Perjalanan Ananda dan Kehadiran Sang Idola

Dasar Kamu Enggak Normal!