Dasar Kamu Enggak Normal!

“Kamu kalo dilahirin lagi pengen jadi siapa?”
“Jadi aku.”
“Haa? Kamu ga pengen jadi orang yang normal gitu?”
“Maksudnya?”
“Ya jadi sama kayak yang lain, kayak aku. Jadi B. Orang biasa.”
“Aku orang biasa.”
“Ya beda. Kamu kan disable, ga normal. Kalo aku normal.”
“Begitukah?”


Siapa yang kali pertama mencipta kata 'disabilitas'? Jahat sekali. Dia pikir siapa dia sampai berhak mengkotak-kotakkan manusia. Buat saya, disabilitas hanya istilah untuk menjelaskan kurva normal. Kata normal diketik di bagian tengah kurva, yaitu saat kurva memuncak. Disable di sebelah kanan dan kiri saat kurva merendah.


Opini saya, normal dan disable itu muncul sebagai ketakutan masyarakat (yang merasa sama dengan yang lain) atas perbedaan dengan orang lain (yang mereka sebut disable itu). Orang cenderung merasa aman kalau berkumpul dengan orang lain yang (mereka anggap) serupa atau sama, kan? 


Padahal pada dasarnya, setiap manusia adalah berbeda. Pernah dengar kan bahwa anak kembar identik pun tidak benar-benar identik karena pasti punya perbedaan? Jadi apa bedanya dengan orang bertangan satu atau tuna ini itu? Mereka juga beda. Jadi kenapa harus dicap difabel? Apakah anak kembar identik yang (pasti) memiliki perbedaan itu juga bisa dibilang difabel atau tidak normal?


Saya mencoba memahami bahwa konsep disabilitas itu muncul karena ada beberapa orang yang dianggap tidak bisa beraktivitas. Padahal mereka hanya butuh cara berbeda untuk beraktivitas. Tapi sadarkah bahwa kita sendirilah yang menyebabkan mereka menjadi seperti itu? Masyarakatlah yang membuat mereka berbeda dan kesulitan beraktivitas. 


Saya sering membayangkan orang berkursi roda pasti sulit nonton di bioskop. Apalagi kalau dia beli tiket di baris paling atas, padahal itu titik paling sipp. (Saya pernah terpaksa duduk di bangku nomor lima dari depan. Rasanya pusing seperti kehabisan argumen saat ujian skripsi.) Nah, siapa yang bikin dia jadi seperti itu? Ya jelas orang lain! Kalau tangga diganti dengan jalan menanjak, pasti orang berkursi roda bisa nyaman. Jadi andaikan tidak ada tangga di seluruh dunia, diganti dengan tanjakan, maka orang berkursi roda bisa keluar dari kategori disable kan?


Ananda Sukarlan meneriakkan sikap tersebut dalam pertunjukkannya, Sabtu 13 Oktober 2018 sore di Galeri Nasional, Jakarta Pusat. "Kalau semua orang saling peduli, maka tidak akan ada disabilitas di dunia ini," kata Ananda. Sore itu, Ananda bekerja sama dengan Can Do Dance Company dari Inggris dalam Festival Bebas Batas (akun instagram @candocodancecompany).

foto : pribadi

Di area penonton, saya menjumpai banyak orang berbahasa isyarat, berkursi roda, berlengan satu, dan berbagai kondisi lainnya. Galeri Nasional sore itu menjadi surga. Para manusia sejati berkumpul, karena manusia sejatinya adalah berbeda, bukan seragam. Seorang gadis manis berkacamata dan berpakaian serba hitam membantu penonton menerjemahkan pesan Ananda ke bahasa isyarat. "Ini bahasa isyarat untuk 'Ananda Sukarlan'," kata Ananda sambil menelungkupkan dua tangan ke dada dan menggerakkan jari. Lucu dan imut.   

foto : pribadi

Sebagai pianis kampiun dunia, Ananda seakan ingin menyampaikan pesan bahwa dia pun sama seperti orang lain. Mengenakan kaus merah bertuliskan '100% manusia', jeans belel, dan rambut pendek rapi seperti habis dari salon, Ananda selalu menceritakan kisah di balik lagu-lagu yang ia gubah dan mainkan sore itu. Sebagian besar lagu justru muncul dari kondisi keterbatasan. Lagu Lonely Child ia gubah untuk mengkomunikasikan perasaan kesepiannya. "Sebagai pengidap Asperger Syndrome, saya bisa membayangkan kesepian yang dialami pengidap autis. Semoga (lewat musik ini, ekspresi) perasaan sepinya juga bisa sampai ke Anda semua ya," katanya. Ananda ternyata memang betul seorang manusia bumi biasa yang tidak tahan untuk tidak memotret keindahan matahari terbenam yang memang kelihatan indah sore itu.  

foto : pribadi

Ananda juga berkolaborasi dengan para penari. Bukan! Ananda tidak menari, dia bermusik mengiringi para penari lebih tepatnya. Ananda memainkan lagu Rapsodia Nusantara nomor 15 yang digubah untuk satu tangan. Penampilan kolaborasi itu juga menggunakan potongan lagu Ananda yang lain dengan iringan rekaman. Sehingga ada momen di mana Ananda berdiam diri di panggung dan kembali bermain setelah rekaman selesai. Dengan mengusung nama besar Ananda Sukarlan, akan menjadi lebih monumental apabila Ananda 'dilibatkan' di dalam tarian, bukan sekadar pianis pengiring. Tentu dengan bentuk yang memfasilitasi aktivitas Ananda bermain piano.        

foto : akun Facebook Ananda Sukarlan


foto : pribadi

Sore itu, Ananda, yang mengidap Asperger Syndrome, dan penari Can Do Dance, yang berbeda-beda kelengkapan dan jumlah anggota tubuhnya, seakan ingin menyampaikan bahwa keterbatasan justru bisa membuat manusia berpikir lebih keras untuk berekspresi dan berkreasi. Keterbatasan justru menjadi bahan bakar dalam berkarya. Bahan bakar yang sangat istimewa sehingga mampu menghasilkan kualitas tenaga yang melampaui batas, bahkan tak berbatas. Bebas dari batasan.   


Ananda dan penari Can Do Dance seakan justru berterima kasih pada dunia atas cap disabilitas dan pandangan dunia yang melihat mereka berbeda (dan bukan tidak mungkin 'mengucilkan'). Kondisi menyakitkan itu memecut Ananda dan penari Can Do Dance untuk berlari lebih jauh, membaca lebih banyak, belajar lebih lama, dan menggali lebih dalam. Bahkan lebih dalam dari manusia yang merasa dirinya normal. Semua dilakukan demi kemanfaatan bagi sesama manusia. Contoh sederhananya mungkin seperti ini, mana yang sampah dan mana yang emas antara orang tuna netra yang tertib antri di tempat umum atau orang melihat tapi selalu menyerobot antrian?

foto : pribadi

Malam itu, saya ingat soal kata 'biasa' yang huruf depannya B. Banyak juga orang menyebut kata 'biasa' dengan huruf B. Jadi kalau kata normal, mungkin disebutnya N? Sebenarnya, normal itu apa sih? Saya tak kunjung menemukan jawaban yang bikin kenyang. Sepulang dari Galeri Nasional, saya memarkir sepeda motor di garasi. Persneling saya mundurkan dan masuk ke 'N'. Oh, akhirnya saya tahu bahwa N itu 'Normal' untuk persneling mesin kendaraan. Eh salah, itu netral ding! Dasar ga normal!

Comments

  1. Karena kedatangan ilmu sebagian besar dari orang-orang "normal" itu.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Terima Kasih Ahok!

Perjalanan Ananda dan Kehadiran Sang Idola