Bagimu Negeri
Sore itu langit muram. Hitam gelap warnanya. Hujan deras mengguyur daerah Fatmawati, Jakarta Selatan. Beberapa pejalan kaki memilih berteduh, sebagian nekad melintas di bawah payung. Angin bertiup kencang. Dahan pohon jangkung di seberang kantor Ananda Sukarlan Center menggelayut ke kanan kiri. Dari balik kaca kantor lantai dua, Ananda Sukarlan berdiri diam menatap hujan. Cukup lama ia berdiam di situ.
“Lho, ada
apa, Ananda?” tanya manajer Ananda, Chendra Panatan.
Ananda
bergeming.
“Ananda?”
“Eh,
enggak. Aku kepikiran sesuatu. Hmm…”
“Apa itu?”
“Indonesia… Indonesia itu bukan cuma Jakarta.
Bukan cuma
pulau Jawa.
Indonesia… bukan
cuma Indonesia.”
Hujan turun
semakin deras. Ananda terus diam memandangi hujan.
Taksi warna
biru melaju malas di jalan tol. Pagi itu mendung masih menyelimuti langit
Jakarta. Hujan yang kemarin turun deras sepertinya masih meninggalkan rasa
muram. Di balik jendela taksi, Ananda duduk mengenakan jaket cokelat tua tebal.
Tadi malam, setelah cukup lama berdiam menatap hujan, Ananda berkata singkat,“Besok
aku terbang ke Ende ya.”
Pesawat
melaju tenang. Ananda mengaduk secangkir kopi hitam panas dengan sedikit gula.
Srupuuut.. Setelah beberapa saat menikmati awan putih lewat jendela, Ananda kembali
sibuk dengan pensil dan kertas di hadapannya.
“Tolong
antar saya ke tempat biasanya,” kata Ananda ke seorang pemuda yang menjemputnya
di Bandara Ende. “Baik, Pak Ananda,” ujar pemuda tegap itu.
Laju mobil
berhenti. Ananda membuka pintu dan langsung turun. Mobil jemputan meninggalkannya.
Ananda berdiri sendirian di tengah lapangan kosong. Ada sebuah tiang bendera
warna putih di tepi lapangan. Tinggi sekali menjulang langit tiang itu. Bangunan
kuno berdinding putih ada di dekatnya. Di depan tempat Ananda berdiri, ada
patung seorang pahlawan nasional Indonesia. Ananda menghampiri patung itu. “Saya
datang lagi, Bung!” katanya.
Ende,
Flores adalah sebuah pulau kecil nan indah. Pepohonan rindang bertebaran di tiap
pojok jalan. Ananda duduk di dekat patung sambil menatap sekeliling. “Tidak
banyak berubah dari dua tahun lalu,” katanya. “Cocok sekali. Baiklah.” Ananda duduk
tegap dan menarik napas panjang. Perlahan ia menutup mata. Kembali berdiam. Angin
meniup ujung lengan jaketnya. Tenang dan hening suasana tempat itu. Suara sepeda
motor sesekali menderu lewat.
“Halo,
Ananda! Apa kabar?” seorang lelaki bersuara lantang mendekati Ananda.
“Oh, Pater
Emanuero! Apa kabar, Pater? Lama tak bertemu!”
“Saya sudah
siapkan piano untuk Ananda. Itu ada di dekat sana.
Dan saya
langsung pamit. Saya tahu Ananda butuh waktu merenung sendiri.
Pakailah piano
itu sepuasnya. Jangan sungkan.”
“Terima
kasih banyak, Pater. Salam saya untuk teman-teman Seminari Santo Paulus!”
Ananda menata
lembaran kertas dan pensil di atas piano. Musik Variations on Kusbini’s “Bagimu
Negeri” mengalun megah.
Raut wajah
Ananda tenang tapi serius. Matanya terpejam. Sementara jemarinya
lincah bergerak, pikiran Ananda tak berhenti mencari jawab. Ananda resah. Ia
merasa harus lebih kencang dan keras bergerak untuk membantu para pemusik
klasik Indonesia. Indonesia sangat besar dan kaya. Pemusik Indonesia punya
bakat yang sangat besar. “Seseorang harus melakukan sesuatu,” pikirnya.
'Padamu negeri kami berjanji
Padamu negeri, kami berbakti
Padamu negeri, kami mengabdi
Bagimu negeri, jiwa raga kami.'
Ananda membuka mata. Ia berdiri dan berjalan pelan kembali mendekati patung. “Terima kasih, Bung. Saya pamit.”
“Ananda,
semua udah siap,” kata Chendra usai rapat bersama beberapa pejabat Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) di kantor
Ananda Sukarlan Center, Fatmawati, Jakarta Selatan.
“Ubah konsep
kompetisi kita!”
“Eh.. Gimana
Ananda?”
“Ubah konsep
kompetisi kita! ASA harus menjangkau lebih luas sampai ke seluruh dunia. Ada
banyak potensi musisi klasik Indonesia yang ada di luar negeri. Kita rangkul
mereka.
Kita ubah juga
batasan karya yang ditampilkan. Beri mereka lebih banyak kebebasan. Belum tentu
kita lebih cerdas dari mereka. Bisa saja mereka menampilkan karya yang unik sesuai
karakter mereka masing-masing.
Kita tetap
buka kategori Non Kompetisi. Itu harus!
Satu lagi.
Kita buka kategori selain piano!”
Indonesia Mini.
Setidaknya itulah yang coba dihadirkan panggung Ananda Sukarlan Award 2023 pada
Minggu, 28 Mei 2023 di IFI Thamrin, Jakarta. Kompetisi piano klasik itu mengubah
wajahnya. Peserta kategori Vokal dan String turut memeriahkan panggung babak
final.
Penonton
bisa menikmati String Quartet No. 4 Op. 18 in C Minor karya komposer yang
selalu digambarkan berwajah muram dan marah Ludwig van Beethoven. Karya megah
itu ditampilkan oleh Reclaim String Quartet yang seluruh personilnya fasih
berbahasa Jawa. Juga ada karya Johann Sebastian Bach Unaccompanied Cello Suite
No. 2 in D Minor BWV 1006 yang dimainkan pemain cello cilik Chloe Lukito.
Steven Audric Gui, pianis muda berkebutuhan khusus
autisme, tampil dalam kategori Non Kompetisi. Ia memainkan Variations on Ibu
Sud's "Kupu-Kupu Kemana Engkau Terbang" karya Ananda sendiri. Ananda berbisik
ke dua rekan juri, Eunice Tong dan Randy Ryan,"Taruh alat tulis kalian. Kita
nikmati permainan Steven!"
Panitia Ananda Sukarlan Center mengubah konsep babak
semifinal menjadi penampilan lewat rekaman video. Cara itu ampuh untuk
merangkul banyak pemusik klasik dari luar Jakarta, pulau Jawa, hingga yang
sedang berada di luar negeri. Peserta babak final ada yang berasal dari
Surabaya sampai Pontianak.
Perhelatan babak final Ananda Sukarlan Award 2023
berlangsung sejak siang sampai malam hari. Pengumuman pemenang baru dibacakan
sekitar pukul sembilan malam.
Semua peserta dan penonton sudah berjalan keluar
auditorium. Ananda berdiri sendiri di dalam auditorium yang kosong. Ia menatap
piano di atas panggung.
Perlahan Ananda
berjalan keluar auditorium dan menutup pintu.
“Sudah
baik. Tapi belum selesai,” gumam Ananda.
Padamu negeri, kami mengabdi
Bagimu negeri, jiwa raga kami.
Comments
Post a Comment