Posts

Bagimu Negeri

Image
Sore itu langit muram. Hitam gelap warnanya. Hujan deras mengguyur daerah Fatmawati, Jakarta Selatan. Beberapa pejalan kaki memilih berteduh, sebagian nekad melintas di bawah payung. Angin bertiup kencang. Dahan pohon jangkung di seberang kantor Ananda Sukarlan Center menggelayut ke kanan kiri. Dari balik kaca kantor lantai dua, Ananda Sukarlan berdiri diam menatap hujan. Cukup lama ia berdiam di situ. “Lho, ada apa, Ananda?” tanya manajer Ananda, Chendra Panatan. Ananda bergeming. “Ananda?” “Eh, enggak. Aku kepikiran sesuatu. Hmm…” “Apa itu?”   “Indonesia… Indonesia itu bukan cuma Jakarta. Bukan cuma pulau Jawa. Indonesia… bukan cuma Indonesia.” Hujan turun semakin deras. Ananda terus diam memandangi hujan.   Taksi warna biru melaju malas di jalan tol. Pagi itu mendung masih menyelimuti langit Jakarta. Hujan yang kemarin turun deras sepertinya masih meninggalkan rasa muram. Di balik jendela taksi, Ananda duduk mengenakan jaket cokelat tua tebal. Tadi malam, setel

"Halo, Ibu?"

"Halo?  Halo?  .... Kamu baru ngerasa sedih ya?  Iya.. Enggak apa-apa.  Nangis aja ya..."  Suara Ibu hangat sekali. Penuh penerimaan. Ibu memang begitu. Selalu hadir memeluk segelap apapun hidupku. Seketika aku menangis sesenggukan. Air mata deras bercucuran. Rasa sesak di dada meledak keluar. Gemetar tubuhku. Keringat membanjir meski udara di toilet ini dingin sekali.  Meski cuma lewat sambungan telepon, aku merasakan betul eratnya pelukan Ibu. Tangan Ibu yang mungil namun sangat kuat. Tangan yang mengelus kepala dan menyuapi obat saat aku sakit. Tangan yang mengeroki punggungku sampai merah waktu masuk angin. Aman rasanya. Boleh menangis dan merasa sedih. Memang itu yang kubutuhkan saat ini. Aku sedih dan butuh orang untuk mendengarku menangis.  Tiga atau lima menit yang lalu aku masih duduk di bilik kerjaku. Mengerjakan tugas rutin kepegawaian tanpa merasa apapun. Pagi tadi aku berangkat dari kos naik sepeda motor. Mengenakan pakaian yang biasa, lewat rute yang biasa, samp

Meja Makan

Image
Aku sebuah meja makan. Lonjong bentukku. Warnaku hitam. Aku ada di ruang tengah sebuah rumah sederhana. Meskipun usiaku tua, lebih dari 35 tahun, kualitas kayuku tetap kuat. He, jangan salah, kayu jati. Bentukku masih sama seperti kali pertama datang ke rumah ini. Aku punya empat kaki kekar. Dua di pojok kanan, dua di kiri. Kaki-kaki kekarku melengkung ke arah luar. Tidak keliru bila orang bilang aku meja makan yang simpel namun elegan dan kuat. Saat kaki meja kayu lain keropos disengat usia, kakiku kekar sepanjang masa.  Seperti tadi aku bilang, aku tinggal di rumah sederhana. Tidak besar dan mewah, namun tidak bisa dibilang kecil juga. Awalnya cuma ada dua orang yang tinggal di rumah ini. Seorang laki-laki muda bertubuh saaaangat gemuk dan istrinya yang cantik mungil. Saat ini, setelah 35 tahun berlalu, penghuni rumah ada tujuh orang. Bapak Ibu, beberapa orang muda dan seorang gadis kecil cantik yang sehat dan ceria. Gadis kecil itu selalu menaruh gelas plastik kecil di atasku. Serin

TOK TOK TOK, TUK TUK TUK, CRIK CRIK CRIK…

Rintik hujan membangunkanku dari lelap pagi ini. Oh , masih pukul tiga. Segelas teh panas menemaniku menikmati derap hujan. Tok tok tok suara berat air memukul atap di atas sana. Tuk tuk tuk air jatuh di atas permukaan daun. Hijau muda warnanya. Crik crik crik air pecah di tumpukan batu. Langit gelap memaksa penghuni bumi istirahat.   Tidak bisa tidak, khidmat ibadah hujan ini mengingatkanku pada keharuan pernikahan Ela dan Norman Selasa, 28 Desember 2021 kemarin. Demikian memang takdir dan jalannya. Kuputuskan ‘tuk alami dan jalani saja.  TOK TUK CRIK…  TOK TUK CRIK…  TOK TUK CRIK…   “Mengko aku ana surprise , bro!” cerita Norman di lobi hotel sehari sebelum pernikahannya. Pada ibadat sabda di malam sebelum pernikahan, Norman hendak menyetel rekaman musik istimewa untuk Sang Ibunda. “Aku akan memberi ruang untuk Ibu mendoakan aku dengan caranya sendiri,” katanya. Malam hari, Norman dan seluruh keluarga melangsungkan ibadat sabda yang dihelat mengikuti tata cara agama Kath

Naga dan Bayangan Hitam

Alkisah hiduplah seekor naga yang tinggal di puncak gunung tinggi. Naga itu sangat besar dan kuat. Kulitnya hijau dengan sisik keras dan besar-besar. Tubuhnya bisa membuat mental siapapun yang menyerang. Ekornya sangat panjang dan bisa menyapu semua bintang di angkasa dengan sekali kibas. Mulutnya bisa mengeluarkan api besar yang sangat panas. Saat lapar, naga itu turun dari gunung dan mencari mangsa. Setiap hari ia mendapatkan banyak mangsa yang ia inginkan. Tidak ada satupun makhluk yang bisa menyelamatkan diri dari serangan naga. Suatu saat, naga merasa jengkel. Ada beberapa makhluk yang tidak takut padanya. “Semua harus tunduk dan takut padaku!” kata naga. Naga turun dari gunung dan mencari makhluk-makhluk yang tidak takut padanya. Naga mendatangi katak. Katak sedang tidur-tiduran di bawah sinar matahari. “Ada apa, naga?” tanya katak santai. “Kamu harus takut dan tunduk padaku!” kata naga dengan suara keras. “Ah, aku tidak mau,” jawab katak. “Kamu harus musnah!” naga berteriak kera

Janji Setia Kekasih Hati

Apapun yang kulakukan, sosok cantik kekasih hati enggan beranjak pergi. Terang sampai gelap. Terik sampai hujan. Saat diam di rumah maupun bermacet-macet di ibukota. Juga pukul lima pagi itu, saat duduk di lantai teras mengenakan kaos kaki warna cokelat dan sepatu lari yang mulai bolong. Kabut dan udara dingin menyapa seluruh indra tubuhku. Semakin dan semakin, aku rindu hangat peluk kekasih yang pulas istirahat di ranjang kamar samping ruang tamu. “Calangeo,” bisikku sambil membentuk jari hati ke arah kamar tidur di balik jendela kembar dengan korden warna krem di belakangnya. Aku senang melempar sapa ramah pada orang-orang yang kutemui saat berlari. Senyum tulus dan ramah selalu berhasil menambah energi positif. Aku ketagihan sumber energi itu. Duduk tenang mengenakan sarung di bawah pohon besar, seorang Bapak setengah baya bertubuh pendek gempal terlebih dahulu menyapa. “Calangeo, mas!” ujarnya dengan suara ringan sambil mengencangkan sarung biru kotak-kotaknya. Bapak ini ramah sung

"Sadari Saja!"

Image
Pagi itu, di akhir bulan April, Bapak Ibu datang ke rumah. "Selamat ulang tahun, Nug!" kata Ibu. Wajahnya ceria. Bapak mengusap rambutku. Kami duduk dan makan makaroni buatan Ibu. Nikmat sekali.  Sambil asyik mengunyah, saya mengingat-ingat berapa usia saya. Hmm.. Oh ya.. 34 tahun. Okay. Eh, sebentar.. Apa??? 34 tahun? Astaga, ke mana saja saya selama ini? Kok waktu seakan berlari kuuwencang sekali? Kenapa tahu-tahu saya sudah usia 34 tahun? Saya melakukan apa saja selama ini? Kenapa rasanya tidak sadar?  Makaroni habis diganyang. Kopi dan teh manis habis diseruput. Saya duduk di lantai bersih habis disapu sambil bersandar dinding. Memberi ruang bagi perut buncit kekenyangan. "Kok enggak terasa ya, tahu-tahu sudah umur 34 tahun," kata saya sambil menerawang langit-langit. "Begitulah hidup. Kalau tidak hati-hati, mudah termakan rutinitas," jawab Bapak.  Malam hari, sambil duduk di teras, saya berusaha mencerna kata-kata Bapak. Rutinitas. Rutinitas oh rutini