"Sadari Saja!"

Pagi itu, di akhir bulan April, Bapak Ibu datang ke rumah. "Selamat ulang tahun, Nug!" kata Ibu. Wajahnya ceria. Bapak mengusap rambutku. Kami duduk dan makan makaroni buatan Ibu. Nikmat sekali. 

Sambil asyik mengunyah, saya mengingat-ingat berapa usia saya. Hmm.. Oh ya.. 34 tahun. Okay. Eh, sebentar.. Apa??? 34 tahun? Astaga, ke mana saja saya selama ini? Kok waktu seakan berlari kuuwencang sekali? Kenapa tahu-tahu saya sudah usia 34 tahun? Saya melakukan apa saja selama ini? Kenapa rasanya tidak sadar? 

Makaroni habis diganyang. Kopi dan teh manis habis diseruput. Saya duduk di lantai bersih habis disapu sambil bersandar dinding. Memberi ruang bagi perut buncit kekenyangan. "Kok enggak terasa ya, tahu-tahu sudah umur 34 tahun," kata saya sambil menerawang langit-langit. "Begitulah hidup. Kalau tidak hati-hati, mudah termakan rutinitas," jawab Bapak. 

Malam hari, sambil duduk di teras, saya berusaha mencerna kata-kata Bapak. Rutinitas. Rutinitas oh rutinitas. Saya benci rutinitas dan berusaha menghindarinya. Rutinitas membuat saya menjalani hidup bak robot. Zombie. Mayat hidup. Bergerak tanpa sadar. Tiap hari mandi byar byur dengan cara posisi, cara memegang gayung, dan gerakan membersihkan badan selalu sama. Berdandan sebelum kerja dengan urutan sama. Berangkat kerja lewat rute dan kecepatan yang sama. Terkutuklah rutinitas! Saya kira pekerjaan saya saat ini, guru piano, membuat saya jauh dari rutinitas. Setiap hari bertemu orang berbeda di lokasi berlainan. Tapi toh saya tetap kaget mengetahui usia saya tahun ini.         

Sering saya dapati tahu-tahu waktu berlalu satu hingga dua jam saat duduk menikmati media sosial. Saat sadar, menyesal. Aduh, sial! Ngapain aja selama dua jam? Aneh, rasanya tidak sadar sedang melakukan apa! 

Okay. Saya harus memperbaiki hidup. Saya harus temukan jawabannya. Segera!


+++ 


Sabtu (29/5) pukul sepuluh pagi, saya masuk ke sebuah ruang temu virtual pelatihan hidup berkesadaran yang dihelat oleh MyndfulAct. Ada Adjie Santosoputro dan musisi Eva Celia di dalamnya. Juga ada banyak sekali peserta pelatihan. Secara sengaja dan penuh kesadaran saya memutuskan ikut pelatihan ini. Saya sadar, jawaban atas pertanyaan terkait kualitas hidup lebih baik, tidak bisa ditemukan dengan mudah dan cepat. Butuh proses dan usaha. Seperti mengumpulkan kepingan puzzle. Pelatihan ini rasanya bisa membantu saya.    

Judul pelatihan 'Stop Autopilot, Start Taking Control' membuat saya merasa 'ini masalah gue banget'. Saya merasa hidup penuh rutinitas yang saya alami adalah semacam autopilot. Saya tidak mengontrol hidup sepenuhnya. Saya menjadi pemeran pembantu dalam film yang seharusnya saya sutradarai. Saya menjadi bawahan tanpa wewenang dalam organisasi yang seharusnya saya pimpin. Saya menjadi 'bukan siapa-siapa' dalam mengendalikan hidup saya sendiri.

Adjie memberi gambaran besar empat poin sesi pelatihan. Satu, menyadari apa itu sebenarnya autopilot. Dua, menyadari perilaku yang didasari autopilot. Tiga, menyadari bagaimana siklus perilaku autopilot. Terakhir, latihan.

Saya senang sesi pelatihan ini memberi gambaran besar peta perjalanan sedari awal. Saya jadi bisa menikmati perjalanan sambil tetap 'memantau GPS (Global Positioning System)'. Saya kemudian berpikir, hmm.. bahkan dalam mengikuti sesi pelatihan pun 'hidup berkesadaran' (paling tidak sadar sudah berada di poin ke berapa) adalah sangat penting. 

Satu lagi, saya juga senang pelatihan akan ditutup dengan latihan. Saya meyakini, hidup berkesadaran butuh latihan disiplin. Tidak ada jalan singkat. Tidak bisa instan.    


Apa itu Autopilot?

Apa yang akan kita rasakan ketika teman seangkatan di tempat kerja mendapat promosi? Pertanyaan itu dilempar ke peserta. Di dalam hati saya menjawab, 'tentu saya akan berkata kasar'. Ya jelas saya misuh. Kenapa bukan saya yang dipromosikan? Kenapa dia? Jawaban peserta pelatihan bervariasi. Namun, ternyata bukan isi jawaban yang dibahas di situ, melainkan 'bagaimana kita merespon kondisi tersebut'. 

"Kita merespon dengan begitu cepat," ujar Adjie. Wah, benar juga. Saya baru sadar bahwa kata-kata kasar tadi muncul cepat sekali. Wuss wuss wuss. Contoh sederhana itu ternyata hendak menggambarkan apa yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Betapa respon cepat (tentu saja tanpa sadar) sering kita lakukan dalam menanggapi berbagai kondisi.

Kenapa saya berkata kasar? Saya iri. Itu jelas. Saya beranggapan prestasi rekan lebih buruk. Atau mungkin, ada kedekatan personal antara rekan dan atasan. Sebentar, benarkah faktanya begitu? Hati-hati, kata Adjie, pikiran sering menciptakan cerita versinya sendiri. Cerita tanpa data lengkap. Satu data atau fakta (rekan mendapat promosi) melahirkan jutaan cerita - yang bisa jadi - ngawur (rekan punya kedekatan personal dengan atasan). Sungguh mengerikan bila kita merespon sesuatu berdasarkan cerita yang ada di kepala.          

"Saat kita tidak sadar, kita beranggapan pikiran kita benar. Namun, saat kita bisa sadar sepenuhnya, kita tahu pikiran kita belum tentu benar," kata Adjie. Wah, sial. Benar juga. Saya merasa tertohok. Jleb jleb jleb.

Respon semacam itulah yang dimaksud dengan autopilot. Respon yang kita ciptakan tanpa kesadaran penuh.

Saya jadi ingat, betapa sering saya membiarkan hidup berjalan autopilot. Saat sedang mengajar misalnya. Murid datang terlambat, otomatis merasa kesal. Murid tidak berlatih, otomatis marah. Atau sebaliknya, melempar pujian atau apresiasi tanpa kesadaran penuh. Cuma karena sudah terbiasa. Bertemu orang baru, langsung cemas. Tantangan baru, langsung takut. Prek! Payah banget!    

Durasi yang dihabiskan Adjie untuk menjelaskan apa itu autopilot (poin pertama sesi pelatihan) sungguh panjang bila dibandingkan tiga poin lainnya. Tentu itu menggambarkan pentingnya kita menyadari apa itu autopilot. Masuk akal. Untuk bisa meminimalisir kehadiran lawan, tentu kita harus mengenali mana lawan dan mana kawan. "First thing to be mindful, adalah dengan menyadari kapan kita tidak mindful," ujar Adjie.

Eva Celia sempat menceritakan pengalamannya menjalani hari-hari di masa pandemi. Ia merasa kesulitan menjalani hidup penuh kesadaran akibat tidak bisa tampil bermusik. Bisa dipahami, seseorang yang terpaksa menjalani hidup tidak sesuai dengan panggilan hati pasti akan merasa sesak. Terlebih Eva seorang seniman yang pasti berperasaan sangat peka. 


Perilaku Autopilot

Eksperimen Ivan Pavlov, psikolog asal Rusia, menjadi materi pembuka sesi ini. Adjie menceritakan sekilas eksperimen Pavlov yang menjelaskan bahwa respon atau reaksi yang kita lakukan (seringkali dengan sangat cepat) merupakan hasil belajar dari masa lalu. Kita melihat pola, mempelajarinya, dan mengaplikasikannya di kehidupan sehari-hari untuk merespon berbagai hal.

Hmm, kemudian saya berpikir kembali ke contoh rekan kerja mendapat promosi. Bila respon autopilot (tidak berkesadaran) saya adalah merasa iri dan jengkel, berarti saya mempelajari hal tersebut di masa lalu, bukan? Saya belajar bahwa kondisi rekan kerja mendapat promosi selayaknya direspon dengan rasa iri dan jengkel. Entah saya belajar itu dari mana. Mungkin dari orang-orang di sekitar saya, kultur kompetisi yang dibangun sejak kecil di sekolah, kultur kompetisi di tempat kerja, film, buku bacaan, atau dari sinetron jam tujuh malam di TV yang kita tonton sambil ikut menahan emosi.

Wah, sial, pikir saya. Lalu bagaimana? Tentu saya tidak mau menjalani hidup autopilot semacam ini! "Press stop button. Beri ruang secukupnya antara stimulus dan respon," ujar Adjie. Ia menjelaskan beberapa hal yang bisa kita lakukan dalam masa jeda itu. 

Kita menyadari nafas. 

Kita menyadari pikiran dan perasaan.

Kita menyadari sensasi yang terjadi di tubuh.

Kita menyadari keinginan.

Dalam masa jeda tersebut, Adjie mengingatkan kita untuk menjalani peran semata sebagai pengamat. Jangan berusaha membuang pikiran atau perasaan yang tidak nyaman. Juga jangan mempertahankan pikiran atau perasaan yang menyenangkan. "Be an observer. Compassionate witness," terangnya.


Siklus Perilaku Autopilot

"We are emotional machine, not a logic machine," kata Adjie. Ia mengatakan bahwa apapun situasinya, bagian pertama yang sekejap merespon adalah sisi emosi. Logika belakangan. 

Kembali ke contoh rekan kerja mendapat promosi, tergambar jelas respon yang saya lontarkan ada di sisi emosi. Iri, jengkel, misuh. Mungkin kemudian logika menyusul. Hmm, apa kelebihan dia dibanding saya dan bagaimana cara saya ikut mengembangkan diri?

Dalam contoh tersebut, bisa jadi proses yang muncul adalah : 

1. EMOSI : rasa frustrasi (emosi negatif yang muncul karena iri dan jengkel)

2. LOGIKA : munculnya banyak pertanyaan (logika mulai bekerja dengan mencoba menganalisis) 

3. EMOSI : perasaan bersalah (hasil kerja logika bisa jadi justru memunculkan perasaan bersalah pada diri sendiri)

4. LOGIKA : penolakan ( perasaan bersalah itu ditangkis dengan defense mechanism : "Ah, enggak. Dia tidak lebih baik. Dia menjilat atasan dan punya hubungan dekat dengan atasan!")

5. kembali ke nomor satu dan akhirnya menjadi lingkaran setan      

Hahaha.. Bukan sekali dua saya mengalami kejadian serupa. Rasanya sungguh bodoh. Buang-buang waktu. "Masalah utama udah lama lewat. Masalahnya sekarang ada di dalam diri sendiri," jelas Adjie. Benar saja. Dalam contoh rekan kerja promosi, andai promosi berlangsung di bulan Juni 2020, sampai Desember 2021 kita masih berkutat dengan emosi negatif. Bodoh benar. 


Lima Rahasia 

Nah, setelah belajar cara mengenali lawan potensial, sekarang belajar cara mengendalikannya. Lima rahasia yang Adjie sampaikan (sehingga tidak lagi menjadi rahasia, ya sudahlah ya) adalah sebagai berikut : 

1. LEARN TO STOP

"Belajar untuk nge-rem sama pentingnya dengan belajar nge-gas," jelas Adjie. Kita hidup di zaman yang menuntut kecepatan. Semua harus serba cepat. "Kondisi itu menjadi tantangan paling berat untuk menguasai mindfulness," tambahnya.

Dalam menjalani hidup serba cepat, kita seakan tidak punya pilihan selain mengikutinya. Namun, melangkah dengan penuh kesadaran atau tidak, tetap menjadi pilihan kita. Saya yakin kita bisa memilih untuk mengalir mengikuti arus tapi tidak hanyut di dalam arus.

'Learn to Stop' sendiri sudah Adjie sampaikan di awal sesi. Kita menenangkan diri. Coba menyadari diri sepenuhnya. Nafas, pikiran dan perasaan, sensasi di tubuh, dan keinginan. "Nafas adalah jangkar paling penting dalam learn to stop," katanya.    


2. SINI KINI

Kita mencoba sepenuhnya menyadari apa yang ada saat ini di tempat ini. Bukan di tempat lain. Bukan tadi ataupun nanti. 

Tidak ada istilah 'nafas masa lalu'. Pun tidak ada yang namanya 'nafas masa depan'. Nafas, yang merupakan jangkar penting, hanya ada di masa kini. Dengan sepenuhnya menyadari nafas, kita menjadi pribadi yang hadir di tempat sini di saat ini. 

Hmm, saya jadi ingat perkataan 'menyesali masa lalu dan mencemaskan masa depan adalah perbuatan irasional'. Tentu saja itu masuk akal karena masa lalu sudah bukan punya kita, sedangkan masa depan belum menjadi milik kita. Bukankah mencemaskan sesuatu yang bukan milik kita adalah perbuatan tidak bermanfaat?


3. GIVING SPACE

Kita memberi jarak antara diri dengan berbagai pikiran dan perasaan. Tegas, Adjie memberi penguatan pada peserta,"You are not your mind. You are not your emotion." Berjarak dengan pikiran dan perasaan bisa dilakukan dengan menyadari dan mengamati. "Sadari saja!" katanya. 

Tidak perlu berusaha membuang pikiran dan perasaan yang tidak enak. Pun tidak perlu mempertahankan pikiran dan perasaan yang membuat nyaman. 

Berjarak dengan pikiran dan perasaan diri adalah hal yang paling saya idamkan sejak dulu. Kita bisa menjadi pribadi independen. Tidak mudah terpengaruh. Bebas dan merdeka. Namun bagi saya, langkah ini sungguh sulit. Tidak mudah untuk mempertahankan diri berperan sebagai pengamat saat memperhatikan diri sendiri. Saya selalu ingin ikut campur. Ingin ikut merampungkan segala sesuatu yang (bagi saya) belum rampung di dalam pikiran dan perasaan. 

Terkait hal itu, Adjie berkata,"Kita sering kecanduan doing something dan berpikir what's next. Padahal kita cukup berhenti di titik menyadari saja. Tidak perlu berpikir what's next." 

Sikap itu juga perlu kita aplikasikan saat berhadapan dengan masa lalu. Tidak perlu berpikir jauh untuk melakukan sesuatu untuk berdamai dengan masa lalu. Hal terpenting adalah menyadarinya. "Saat kita menyadari sesuatu, secara otomatis kita berjarak dengannya," tambah Adjie.    

Hahaha.. Bahkan terhadap diri sendiri pun saya sok tahu dan sok ikut campur. Eh enggak ding, bercanda. 

  

4. GENTLE WITH OURSELVE

'I love you. I love you. I love you. Thank you for being me.' Kalimat itu bisa kita sampaikan ke diri sendiri. Kita berusaha memeluk dan menyayangi diri sendiri. 

Dalam sesi latihan, Adjie sempat mengajak peserta menghadirkan sosok penuh cinta kasih dalam benak masing-masing, dan memberikan cinta kasih serupa ke diri sendiri. Saya menyayangi saya. 

Saya melihat langkah ini sangat-sangat-sangat-sangat-sangat penting. Bahkan kalau bisa, saya ingin menambah kata 'sangat' di kalimat sebelumnya menjadi enam ratus tujuh puluh empat kata. Saya menyadari, kita, ya kita, adalah orang yang paling jahat terhadap diri kita sendiri.

Inug adalah orang yang paling jahat pada Inug.

Darmin pada Darmin.

Paijo pada Paijo.

Demikian seterusnya untuk Ngatiyem, Sunarjo, Rahmat, Marjuki, Paul, Vladimir, dan siapapun kita. 

Bagaimana tidak? Contoh sederhana saat buka Instagram dan melihat laki-laki muda berfoto di depan mobil Aston Martin setelah turun dari jet pribadi. Kita menjadikan itu standar kehidupan dan menyalahkan diri sendiri,"Kok gw cuma naik Honda Beat?" Eh, gobl*k! Itu sama dengan ikan menangis sedih karena iri pada monyet yang bisa memanjat pohon, bukan? 

 

5. Kembali ke jangkar

Setelah mencoba berjarak dan menyayangi diri sendiri, kita bisa kembali ke menyadari nafas yang merupakan jangkar penting dalam usaha menyadari diri sendiri. 


+++


Saya melihat Eva Celia, musisi yang diundang ikut berbagi dalam sesi pelatihan ini, sebagai pribadi yang sangat reflektif. Ia sangat mengenal dirinya sendiri. Saya bayangkan, Eva kerap duduk sendirian di tepi taman memandang awan berwarna oranye di sore hari atau daun berwarna merah berguguran sambil bertanya 'mengapa begini - mengapa begitu'. Bisa jadi Eva juga punya 'buku harian' dan rutin mengisinya sambil kerap menangis atau terbahak akibat terlalu hanyut. 

Eva menceritakan banyak hal terkait tantangan yang ia alami dalam mencoba hidup berkesadaran. Juga beberapa langkah kecil yang bisa ia lakukan untuk mengelola pikiran dan perasaan. Satu hal sederhana namun, menurut saya, luar biasa adalah Eva memasang pengingat di ponsel untuk kembali hidup berkesadaran. Saya kaget mendengarnya. Sebegitunyakah? 

Iya. Jelas. Harus. Memang sebegitunya. Kita hidup di zaman yang (seakan) menuntut kita untuk tidak berkesadaran. Distraksi di mana-mana. Adjie menanggapi Eva dengan sangat positif. Latihan hidup berkesadaran haruslah disiplin. "Masalah dalam berlatih adalah kita ingat atau tidak," ujar Adjie.    

Hidup penuh kesadaran adalah pilihan yang baik untuk kita jalani. Kita terhindar dari autopilot dan menjadi raja atas diri sendiri. 

"Mindful sangat perlu agar kita terampil menderita. Terampil mengelola kepahitan, patah hati, atau iri," kata Adjie. Saya meyakini hidup setiap orang penuh dengan tantangan. Hal baik dan buruk terjadi pada semua orang. Dengan terampil mengelola pikiran dan perasaan, kita jadi pribadi yang lebih mudah untuk bersyukur. 

Saya senang sempat mengikuti sesi pelatihan ini. Myndfulact sebagai penghelat acara, punya misi yang sangat baik yaitu meningkatkan kualitas hidup anak muda. Di zaman serba instan seperti saat ini, melakoni hidup berkesadaran memang menjadi tantangan berat. "Hidup ini bukan perihal seberapa cepat, namun seberapa tepat," ujar Adjie sebelum berpamitan.




Comments

Popular posts from this blog

Terima Kasih Ahok!

Perjalanan Ananda dan Kehadiran Sang Idola

Dasar Kamu Enggak Normal!