Janji Setia Kekasih Hati

Apapun yang kulakukan, sosok cantik kekasih hati enggan beranjak pergi. Terang sampai gelap. Terik sampai hujan. Saat diam di rumah maupun bermacet-macet di ibukota. Juga pukul lima pagi itu, saat duduk di lantai teras mengenakan kaos kaki warna cokelat dan sepatu lari yang mulai bolong. Kabut dan udara dingin menyapa seluruh indra tubuhku. Semakin dan semakin, aku rindu hangat peluk kekasih yang pulas istirahat di ranjang kamar samping ruang tamu. “Calangeo,” bisikku sambil membentuk jari hati ke arah kamar tidur di balik jendela kembar dengan korden warna krem di belakangnya.


Aku senang melempar sapa ramah pada orang-orang yang kutemui saat berlari. Senyum tulus dan ramah selalu berhasil menambah energi positif. Aku ketagihan sumber energi itu. Duduk tenang mengenakan sarung di bawah pohon besar, seorang Bapak setengah baya bertubuh pendek gempal terlebih dahulu menyapa. “Calangeo, mas!” ujarnya dengan suara ringan sambil mengencangkan sarung biru kotak-kotaknya. Bapak ini ramah sungguh. Suatu hari aku terburu-buru pulang karena kehujanan. Bapak itu berteriak memanggil untuk berteduh di teras rumahnya.


Pagi itu keramahan belum meninggalkannya. “Nggih. Calangeo, Pak!” jawabku. Tak lupa jari hati tangan kiri kuarahkan tepat ke tengah hatinya. Aduh! Kok tangan kiri? Itu tidak sopan. “Maaf. Calangeo!”jari hati yang tidak terbentuk sempurna kulempar dengan pergelangan tangan kananku yang cacat.


Sebentar lagi aku akan sampai di sebuah turunan jalan yang dibuat dari semen beton. Turunan itu curam sekali. Aku tidak berani lari di atasnya. Takut terpeleset dan menggelinding sampai ke bawah sana. Pelan-pelan saja. Pelan-pelan. Sebentar lagi aku akan segera tiba di kompleks perumahan raksasa yang terdiri dari tujuh ratus ribu enam belas rumah dengan kualitas aspal jalan nomor satu seantero negeri. Hmm, mungkin itu tidak sepenuhnya tepat. Kualitas aspalnya memang bagus tapi rasanya bukan nomor satu. Mungkin cuma nomor sekian. Nomor delapan? Enam belas? Mungkin. Entahlah.


Sekarang aku bisa berlari lebih kencang. Sepatu yang mulai bolong seakan berubah menjadi sepatu baru seharga enam juta rupiah dibayar kontan tanpa kembalian. Terima kasih aspal, kataku.


Seratus dua puluh empat meter di depanku ada sebuah pos sekuriti kecil yang gelap dan kelihatan apek. Seorang lelaki muda kurus bungkuk berseragam cokelat sekuriti dan sepatu bot hitam berdiri di depan pos. Usianya sekitar lima setengah tahun di atasku. Oh, bukan. Enam tahun. Ya. Enam tahun di atasku. Ia melihat ke arahku dengan wajah cemberut, bibir manyun, dan tangan berkacak pinggang. Oh, mungkin dia mengira aku berlari setelah diam-diam mengambil satu dua barang mahal milik orang lain. Oh, atau mungkin dia cuma pegal saja pinggang dan punggungnya. Maklum, lebih dari dua belas setengah jam sehari ia habiskan duduk menonton televisi yang mulai pudar warnanya seperti kutang yang terlalu sering dicuci dan dijemur.


Lelaki itu mengangkat dagu ke arahku. Dugaanku sepertinya keliru. Sudah ada banyak keriput di kulitnya. Usianya mungkin sembilan belas tahun di atasku. Atau sembilan belas tahun tiga bulan? Bisa jadi. Entahlah. Wajahnya masih cemberut. Bibirnya masih manyun. Kedua tangannya juga masih berkacak pinggang. Dia bukan sedang sakit pinggang. Sepertinya. “Aku tidak mungkin pergi ke mana-mana. Janji setia sudah kuucapkan di hadapan Tuhan dan saksi-saksi. Aku akan tetap ada di dalam hatimu!” ujarku mantap. Sosok kekasih hati, yang masih memejamkan mata sambil memeluk guling dan selimut dengan wajah imut, muncul di ingatan apapun yang kulakukan dan siapapun yang kutemui. “Calangeo!” tak lupa aku menambahkan. Kali ini aku ingat untuk menggunakan tangan kanan.


“CALANGEOOOOOOOOOO!” lelaki itu keras berteriak sambil mengangkat kedua tangannya, memamerkan gigi kuning, dan menggelontorkan aroma nafas tak sedap. Oh, oh, dan entah dari mana, tangan kirinya tiba-tiba saja sudah menggenggam pentungan. O’o, kataku. Dia marah, kataku. Ya sudah, kataku. Aku lari lagi saja, kataku.


Aku kembali berlari. Namun, kali ini seorang petugas pos sekuriti ikut berlari tiga seperempat meter di belakangku. Entah apa yang mendadak membuatnya bersemangat berolahraga. Kita berdua berlari dengan ritme persis sama. Langkah kaki dan ayunan tangan juga serupa. Sejujurnya, aku lebih senang berlari sendirian. Apalagi kali ini rekan lariku meneriakkan kata-kata yang tidak jelas terdengar. Semacam ‘grroowaaa hooowrrgghhh’ yang aku belum tahu apa artinya. Ditambah lagi aku masih memikirkan kekasih hati yang, entah bagaimana, sosoknya tidak sedetikpun pergi dari kepalaku. Namun, sesekali tidak apa-apalah.   


Entah sejak kapan, saat ini sudah ada tujuh orang di belakangku yang berlari dengan ritme, langkah kaki, dan ayunan tangan persis sama. Jarak dari pelari satu ke lainnya juga persis sama. Tiga seperempat meter. Tidak kurang. Oh, mungkin mereka sedang merayakan cinta yang membuat orang mau melakukan apapun. “CALANGEO!” teriakku sambil membuat jari hati ke belakang. “CALANGEEOOO!” aku mendengar teriakan balasan. Setiap dari mereka mengangkat tangan membuat jari hati. Hah! Wah! Aku senang sekali. Rupanya aku berlari bersama orang-orang yang juga tidak bisa menghilangkan sosok kekasih hati dari benaknya.


Aku meninggalkan jalan aspal berbelok naik jembatan kecil yang menyeberangi sungai tiga setengah meter dalamnya. Jembatan itu cuma cukup untuk satu orang. Tidak lebih. Di ujung jembatan aku berhenti. Ketujuh orang di belakangku terus berlari di jalan aspal dengan tatapan lurus ke depan. Jarak antar mereka tidak berubah. Tiga seperempat meter. Tidak kurang. Sepertinya lelaki berseragam sekuriti sambil menggenggam pentungan di tangan kiri masih mengeluarkan geraman yang sama sejak tadi. Calangeo, ujarku dalam hati sambil mengucapkan selamat berpisah. Aku membalik tubuh dan kembali berlari. Pulang ke rumah, tempat kekasih hatiku berada.  


Senin, 18.48

Omah Podjok, 30 Agustus 2021

        

Comments

Popular posts from this blog

Terima Kasih Ahok!

Perjalanan Ananda dan Kehadiran Sang Idola

Dasar Kamu Enggak Normal!