"Halo, Ibu?"

"Halo? 

Halo? 

....

Kamu baru ngerasa sedih ya? 

Iya.. Enggak apa-apa. 

Nangis aja ya..." 

Suara Ibu hangat sekali. Penuh penerimaan. Ibu memang begitu. Selalu hadir memeluk segelap apapun hidupku. Seketika aku menangis sesenggukan. Air mata deras bercucuran. Rasa sesak di dada meledak keluar. Gemetar tubuhku. Keringat membanjir meski udara di toilet ini dingin sekali. 

Meski cuma lewat sambungan telepon, aku merasakan betul eratnya pelukan Ibu. Tangan Ibu yang mungil namun sangat kuat. Tangan yang mengelus kepala dan menyuapi obat saat aku sakit. Tangan yang mengeroki punggungku sampai merah waktu masuk angin. Aman rasanya. Boleh menangis dan merasa sedih. Memang itu yang kubutuhkan saat ini. Aku sedih dan butuh orang untuk mendengarku menangis. 

Tiga atau lima menit yang lalu aku masih duduk di bilik kerjaku. Mengerjakan tugas rutin kepegawaian tanpa merasa apapun. Pagi tadi aku berangkat dari kos naik sepeda motor. Mengenakan pakaian yang biasa, lewat rute yang biasa, sampai di jam yang biasa, parkir di tempat yang biasa, lalu sarapan di warung nasi uduk yang biasa. Hidupku sedang biasa-biasa saja. Tak ada ledakan apapun.    

Orang kerap bertanya, bagaimana rasanya hidup di dua kutub sekaligus. Kutub utara dan selatan. Mungkin juga timur dan barat. Langit dan dasar laut. Gelap dan terang. Mayor dan minor. Musim gugur dan semi. Dan juga, senang dan sedih. Tak ada cara mudah untuk menjawab pertanyaan itu. Sekali dua aku coba terangkan. "Tidak masuk akal!" kata mereka.   

Entah bagaimana, suasana hatiku berubah drastis. Aku, yang sedang mengerjakan tugas kantor dan merasa biasa-biasa saja, seketika itu merasa sedih. Semua keluarga dan teman-teman sehat. Aku belum punya cicilan hutang. Tubuhku sehat. Sungguh, tak ada secuil pun hal yang berpotensi membuatku sedih. Memang benar kata mereka, 'tidak masuk akal'. Namun, nyatanya, aku mendadak sedih. Sangat sedih. 

"Aduh, bagaimana ini?" pikirku. Sial, padahal tadi pagi sudah minum obat! Telapak tanganku mulai berkeringat. Air mata menggenang. Kalau aku tetap di sini, atasanku yang duduk di persis di sebelahku bisa curiga. Bisakah aku tahan? Tidak! Aku tidak bisa! Lalu aku harus pergi ke mana? 

Pelan-pelan aku berdiri dan melangkah ke toilet. "Kayaknya baru aja kamu ke WC," ujar atasanku. "Hehe.." jawabku lemah. Lagi-lagi harus begini.

Untung toilet kosong. Ada dua ruangan kloset. Aku mengunci pintu lalu duduk di atas kloset. Udara toilet dingin sekali. Pikiranku berlompatan kencang. Aku tidak bisa jelas menangkapnya. Musik sedih? Berangkat sekolah naik sepeda waktu kecil? Menabung untuk beli mobil? Sakit perut? Bapak Ibu sedang apa di rumah?

Aku benci harus mengalami ini lagi. Terbang mendadak dari kutub satu ke kutub lainnya. Aku benci harus menyelinap ke toilet lagi. Aku benci harus mengganggu orang tuaku lagi. Sampai kapan aku jadi lelaki lemah dan cengeng?

Kurogoh ponsel di kantong.

"Halo, Ibu..."

Comments

Popular posts from this blog

Terima Kasih Ahok!

Perjalanan Ananda dan Kehadiran Sang Idola

Dasar Kamu Enggak Normal!