TOK TOK TOK, TUK TUK TUK, CRIK CRIK CRIK…
Rintik
hujan membangunkanku dari lelap pagi ini. Oh,
masih pukul tiga. Segelas teh panas menemaniku menikmati derap hujan. Tok tok tok suara berat air memukul atap
di atas sana. Tuk tuk tuk air jatuh
di atas permukaan daun. Hijau muda warnanya. Crik crik crik air pecah di tumpukan batu. Langit gelap memaksa
penghuni bumi istirahat.
Tidak bisa tidak, khidmat ibadah hujan ini mengingatkanku pada keharuan pernikahan Ela dan Norman Selasa, 28 Desember 2021 kemarin. Demikian memang takdir dan jalannya. Kuputuskan ‘tuk alami dan jalani saja.
TOK TUK CRIK…
TOK TUK CRIK…
TOK TUK CRIK…
“Mengko aku
ana surprise, bro!” cerita Norman di
lobi hotel sehari sebelum pernikahannya. Pada ibadat sabda di malam sebelum
pernikahan, Norman hendak menyetel rekaman musik istimewa untuk Sang Ibunda. “Aku
akan memberi ruang untuk Ibu mendoakan aku dengan caranya sendiri,” katanya.
Malam hari,
Norman dan seluruh keluarga melangsungkan ibadat sabda yang dihelat mengikuti
tata cara agama Katholik. Ibunda Norman duduk dengan khusyuk di kursi kayu
bergagang cokelat gelap. Momentum bentuk perhatian istimewa seorang anak pada
orang tuanya itu pun hadir. Norman memasang rekaman musik Islamo-Christian Ave
Maria yang dinyanyikan oleh Tania Kassis. Suara adzan mengiringi alunan Ave
Maria. Luruh semua perbedaan latar belakang agama. Menyatu memuliakan kehidupan.
“Ibu bisa
duduk di depan?” kata Norman tiba-tiba. Ia memohon Ibunda mendaraskan doa
sesuai keyakinannya. Ibu mana tak bangga dan luluh hatinya mendapat perlakuan
sepenting dan sebesar itu? Bersuara lirih, sangat-sangat lirih akibat menangis
haru, Ibunda pun membacakan doa. Semua umat lain sontak mengikuti. Khusyuk sekali.
Esok
paginya, misa pernikahan Ela dan Norman berlangsung. Norman membacakan janji
nikah. Nada haru sempat terdengar. Mendadak hilang
berganti tegas dan jelas. Seakan ia adalah mesin terlatih. Mungkin Norman kerap
mengalami masa hidup tidak ringan dan terbiasa menahan perih. Mungkin Norman
terbiasa meledakkan tangis lewat karya bukan air mata. Mungkin dia memilih
untuk menahan tangis karena sadar itu bisa mempengaruhi momen pembacaan janji
Ela. Mungkin dia memikirkan acara yang harus berlangsung singkat sebagai bentuk
tanggung jawab pemimpin.
Tersendat Ela
membacakan janji nikah. Ia menangis haru. Mungkin Ela bangga akan keberanian
dirinya memasuki sebuah masa hidup baru yang tidak menawarkan jalan putar
balik. Mungkin Ela bahagia bisa lantang menyatakan cintanya yang
luar biasa. Mungkin Ela terharu melihat jalan panjang masa depan yang akan
dijalani berdua. Mungkin Ela menangis karena sedih Norman memegang buku misa
terbalik sehingga sulit ia baca? Tentu bukan. Ela adalah pribadi cerdas dan
kuat yang punya seribu satu cara untuk mengatasi situasi sulit.
Ela dan
Norman mendatangi orang tua. Berlutut lalu menunduk sungkem. Sejuta ungkapan
pun menyirat.
Memohon
doa.
Bangga.
Senyum
syukur.
Genggaman takut
dan cemas yang wajar.
Ledakan
tangis haru.
Deg-degan.
Tawa ‘duh,
anakku nikah!’
Juga.. sebentuk
pamit.
Ya, sudah sana,
berdua ndang berangkat!
Sukses ya!
Tetap takut
akan Tuhan ya, Nak.
Hati-hati
di perjalanan.
Saling jaga
ya!
Titip
anakku ya.
Rupanya, selalu
demikian memang perubahan itu menyatakan diri. Harapan dan kebahagiaan menuntut
pengorbanan yang besar sekali. Ela dan Norman dipaksa, tanpa bisa mengelak,
untuk melepaskan sesuatu yang sangat penting dalam hidup mereka demi meraih impian
berdua. Mesra dan keji muncul berbarengan. Tiada mungkin dihindari.
Tawa yang selalu menuntut air mata.
Tok tuk, crik.. Tok tuk crik… Tok tuk crik… Ups, hujan
deras beranjak reda. Sial! Aku benci perpisahan! Tolong jangan pergi, aku masih
rindu! Kerinduan itu pula yang kurasakan saat menyadari tugasku sebagai saksi nikah
sudah selesai. Sial, sial, sial! Aku masih rindu suara, tatap mata, dan bentuk
pernyataan cinta semua Saudara.
Tuk..
Crik..
Tuk..
Crik..
Hujan
benar-benar akan berhenti. Satu-satunya cara menghadapi rindu tak tuntas dan
rasa perih harus berpisah adalah dengan melangsungkan perpisahan itu secepat dan
sedingin mungkin. Pamit set set set.
Pulang.
Aku pulang membawa
ratusan halaman buku kenangan untuk kubaca dan kuingat sebagai pegangan hidup
ke depan. Terima kasih, Ela dan Norman. Selamat!
Mashoook ini..
ReplyDelete