Posts

Saat Pintu Panggung Mulai Terbuka

Image
pintu menuju panggung terbuka. aku melongok belakang. memberi tanda pada teman-teman choir  Sekolah Cikal Serpong untuk bersiap. mata mereka kaget dan tegang. sebagian memandangi layar yang terpasang di dinding sambil meringis. panggung megah dan penonton membanjir membuat mereka cemas. belum lagi kehadiran dewan juri yang duduk di bangku paling depan.  kulempar senyum pada mereka. 'ayo kita nikmati momen ini, guys !' bisikku dalam hati. mereka paham. dan ikut tersenyum. "silakan, Kak!" panitia penjaga pintu mempersilakanku melangkah masuk. "semangat, semangat!" kata rekan guru, Pak Roby, sambil tersenyum dan mengepalkan tangannya.  baiklah, teman-teman. ayo kita mulai!      aku dan teman-teman choir melangkah masuk ke panggung Penabur International Choir Festival 2024 di Penabur International School Kelapa Gading, Selasa 10 September siang itu. lantai kayu cokelat bersih mengkilap menyambut kami. oh sudah jelas kami tidak mau terburu-buru. pelan-pelan saja

Menengok Belakang

pagi ini aku mencoba sejenak berhenti. menarik diri dari kencangnya aktivitas. memejamkan mata, menarik nafas panjang, dan bertanya dalam hati,"untuk apa aku ada?" pertanyaan sederhana yang sungguh tidak sederhana jawabannya. pertanyaan sederhana yang seringkali terlupa untuk selalu ditanyakan. pertanyaan sederhana yang menjadi usahaku untuk menjawab banyak kegelisahan. sebelum melangkah ke sana, aku coba jawab dulu pertanyaan berikut ini. "kenapa eksistensi perlu dipertanyakan? bukankah itu hanya perlu untuk dijalankan sebaik mungkin? jangan-jangan, mempertanyakan manfaat keberadaan diri hanya merupakan ekspresi kekecewaan akan hidup?" bagiku, mempertanyakan manfaat keberadaan diri adalah cara untuk mengembalikan jalan hidup ke alur yang sebenarnya, jalan yang sejati. kita menyingkirkan nilai-nilai yang mungkin tanpa disadari tidak penting namun menduduki prioritas tinggi dalam hidup. mencoba merasakan, jangan-jangan kita tenggelam pada nilai-nilai yang sengaja dit

MULIH

“Bapak tak mulih yo .” “Lho, mau ke mana, Pak?” “ Mulih. Wes wayahe .” “Aku sendirian dong. Janganlah, Pak.” “ Yo kabeh kan nduwe jatah waktune dhewe-dhewe. Tugas Bapak wes rampung .” “Tapi aku takut. Aku takut sendirian.” “ Kowe iso. Tak kancani .” “Yang tak jadikan pegangan terus siapa? Aku bisa berdiri karena selalu ada Bapak di rumah.” “ Titip putu-putu, Ibu, lan adimu yo. Kabeh dijaga sing apik. Kowe juga urip sing apik. Bojomu dijaga. Mutiara de’e kuwi, sangat berharga. ” “…” “ A smooth sea never made a skillful sailor. Pengalaman uripmu wes akeh goncangan. Sak iki kowe wes iso ngadeg dhewe. Wes ya, tak pamit. ” “Salib, Pak. Makasi ya, Pak.” “Ya, sing ngati-ati .”  

Bagimu Negeri

Image
Sore itu langit muram. Hitam gelap warnanya. Hujan deras mengguyur daerah Fatmawati, Jakarta Selatan. Beberapa pejalan kaki memilih berteduh, sebagian nekad melintas di bawah payung. Angin bertiup kencang. Dahan pohon jangkung di seberang kantor Ananda Sukarlan Center menggelayut ke kanan kiri. Dari balik kaca kantor lantai dua, Ananda Sukarlan berdiri diam menatap hujan. Cukup lama ia berdiam di situ. “Lho, ada apa, Ananda?” tanya manajer Ananda, Chendra Panatan. Ananda bergeming. “Ananda?” “Eh, enggak. Aku kepikiran sesuatu. Hmm…” “Apa itu?”   “Indonesia… Indonesia itu bukan cuma Jakarta. Bukan cuma pulau Jawa. Indonesia… bukan cuma Indonesia.” Hujan turun semakin deras. Ananda terus diam memandangi hujan.   Taksi warna biru melaju malas di jalan tol. Pagi itu mendung masih menyelimuti langit Jakarta. Hujan yang kemarin turun deras sepertinya masih meninggalkan rasa muram. Di balik jendela taksi, Ananda duduk mengenakan jaket cokelat tua tebal. Tadi malam, setel

"Halo, Ibu?"

"Halo?  Halo?  .... Kamu baru ngerasa sedih ya?  Iya.. Enggak apa-apa.  Nangis aja ya..."  Suara Ibu hangat sekali. Penuh penerimaan. Ibu memang begitu. Selalu hadir memeluk segelap apapun hidupku. Seketika aku menangis sesenggukan. Air mata deras bercucuran. Rasa sesak di dada meledak keluar. Gemetar tubuhku. Keringat membanjir meski udara di toilet ini dingin sekali.  Meski cuma lewat sambungan telepon, aku merasakan betul eratnya pelukan Ibu. Tangan Ibu yang mungil namun sangat kuat. Tangan yang mengelus kepala dan menyuapi obat saat aku sakit. Tangan yang mengeroki punggungku sampai merah waktu masuk angin. Aman rasanya. Boleh menangis dan merasa sedih. Memang itu yang kubutuhkan saat ini. Aku sedih dan butuh orang untuk mendengarku menangis.  Tiga atau lima menit yang lalu aku masih duduk di bilik kerjaku. Mengerjakan tugas rutin kepegawaian tanpa merasa apapun. Pagi tadi aku berangkat dari kos naik sepeda motor. Mengenakan pakaian yang biasa, lewat rute yang biasa, samp

Meja Makan

Image
Aku sebuah meja makan. Lonjong bentukku. Warnaku hitam. Aku ada di ruang tengah sebuah rumah sederhana. Meskipun usiaku tua, lebih dari 35 tahun, kualitas kayuku tetap kuat. He, jangan salah, kayu jati. Bentukku masih sama seperti kali pertama datang ke rumah ini. Aku punya empat kaki kekar. Dua di pojok kanan, dua di kiri. Kaki-kaki kekarku melengkung ke arah luar. Tidak keliru bila orang bilang aku meja makan yang simpel namun elegan dan kuat. Saat kaki meja kayu lain keropos disengat usia, kakiku kekar sepanjang masa.  Seperti tadi aku bilang, aku tinggal di rumah sederhana. Tidak besar dan mewah, namun tidak bisa dibilang kecil juga. Awalnya cuma ada dua orang yang tinggal di rumah ini. Seorang laki-laki muda bertubuh saaaangat gemuk dan istrinya yang cantik mungil. Saat ini, setelah 35 tahun berlalu, penghuni rumah ada tujuh orang. Bapak Ibu, beberapa orang muda dan seorang gadis kecil cantik yang sehat dan ceria. Gadis kecil itu selalu menaruh gelas plastik kecil di atasku. Serin

TOK TOK TOK, TUK TUK TUK, CRIK CRIK CRIK…

Rintik hujan membangunkanku dari lelap pagi ini. Oh , masih pukul tiga. Segelas teh panas menemaniku menikmati derap hujan. Tok tok tok suara berat air memukul atap di atas sana. Tuk tuk tuk air jatuh di atas permukaan daun. Hijau muda warnanya. Crik crik crik air pecah di tumpukan batu. Langit gelap memaksa penghuni bumi istirahat.   Tidak bisa tidak, khidmat ibadah hujan ini mengingatkanku pada keharuan pernikahan Ela dan Norman Selasa, 28 Desember 2021 kemarin. Demikian memang takdir dan jalannya. Kuputuskan ‘tuk alami dan jalani saja.  TOK TUK CRIK…  TOK TUK CRIK…  TOK TUK CRIK…   “Mengko aku ana surprise , bro!” cerita Norman di lobi hotel sehari sebelum pernikahannya. Pada ibadat sabda di malam sebelum pernikahan, Norman hendak menyetel rekaman musik istimewa untuk Sang Ibunda. “Aku akan memberi ruang untuk Ibu mendoakan aku dengan caranya sendiri,” katanya. Malam hari, Norman dan seluruh keluarga melangsungkan ibadat sabda yang dihelat mengikuti tata cara agama Kath