Refleksi Akhir Tahun (2/4) : Balas Kebaikan

Saya mau melanjutkan tulisan kemarin tentang refleksi akhir tahun. Banyak sekali topik yang ingin saya tulis dan syukuri. Tak cukup tertuang dalam satu tulisan. Akan hadir empat tulisan dan hari ini adalah tulisan kedua. 

Kemarin, proses refleksi dimulai dengan menulis hal yang saya syukuri sepanjang tahun. Satu poin. Dua poin. Tiga poin. Empat poin. Lanjut terus sampai lima belas poin. Enam belas. Tujuh belas. Selesai di dua puluh. Begitu banyak hal yang saya syukuri sampai saya harus membagi tulisan ke dalam empat kategori. 

Mewarnai tahapan hidup dengan syukur adalah penting untuk kita semua. Berdiam diri, menilik ke belakang, dan mengintip sisi positif dari setiap kejadian yang telah kita lalui. Sisi positif itu pasti ada dan mengajarkan kita suatu hal. Budayawan Sudjiwo Tedjo pernah bilang, segala hal yang sudah terjadi adalah yang terbaik bagi kita. Sekarang tinggal bagaimana cara kita memaknainya. 

Semua kejadian hidup, saya yakini, menggiring kita untuk mencapai pemenuhan diri, menjadi diri yang sejati. Inug yang sebenarnya. Kiky yang sebenarnya. Sudjiwo Tedjo yang sebenarnya. Hidup membantu kita mencari alasan kehadiran kita di dunia. Bila kita cuek dan enggan untuk sekadar duduk diam, merenung dan memaknai, sia-sialah semua teriakan, arahan, dorongan, atau hantaman yang kita terima.             

Maret 2020, saya mengalami situasi mengejutkan yang juga dialami banyak orang lain. Yap, saya kehilangan sebagian besar sumber pemasukan. Eit, namun perlu dicatat : kondisi saya masih jauuuuh lebih baik dibanding banyak orang lain yang bahkan mengalami pemutusan hubungan kerja.  

Sebelum pandemi, saya dan Kiky punya banyak rencana. Mulai dari rencana lucu-lucuan seperti beli baju, tanaman hias beserta pot, atau buku, sampai yang agak serius seperti memasang kanopi rumah, cat ulang dinding, lemari dan kasur, juga pergi berlibur. Saya dan Kiky sama-sama bekerja. Pemasukan Kiky dialokasikan untuk membayar cicilan. Pemasukan saya untuk kebutuhan sehari-hari dan membeli kebutuhan lainnya. Dan, ya betul, semua rencana itu terpaksa diatur ulang. Kita melangkah sambil memberlakukan pengetatan di sana sini.  

Satu yang saya syukuri adalah, saya dan Kiky tetap bisa tidur nyenyak, mengobrol, dan tertawa. Kita tidak mengeluh, sedih, ataupun marah. Hahaha, saya baru sadari itu sekarang. Benar juga. Kenapa ya? 

Berjalannya waktu, murid sedikit bertambah. Pendapatan merangkak naik. Namun, tunggu sebentar, ternyata sekarang saya makin mengenal nilai-nilai yang rasanya tepat untuk diberlakukan dalam hidup. Saya semakin menyadari apa yang sebenarnya saya cari dalam hidup ini. Dan kesadaran itu jauh lebih berharga ketimbang selisih pendapatan saya saat ini dengan sebelum pandemi. 

Betul kata Kiky. Saya punya darah seniman dan butuh berekspresi melalui karya. Saya butuh berkreasi. Sekecil apapun itu. Itulah nilai diri yang saya temukan dan akan saya hidupi ke depannya.


Olahraga

Akhir tahun 2019, sambil menyenderkan kepala di kursi Kereta Api Argo Lawu dalam perjalanan pulang ke Jakarta, saya membuat janji terhadap diri sendiri. "Saya akan bertransformasi," saya membatin. Saat itu saya berjanji pada diri sendiri hendak membangun kebiasaan berolahraga demi mencapai bentuk fisik yang, yaahh... sebisa mungkin tidak terlalu bulat.

Saya memulai dengan berlari di dekat rumah kontrakan, yakni di sepanjang jalan masuk kompleks Vila Dago, Pamulang. Tidak lama durasi lari saya. Tapi yang saya pikirkan adalah membangun kebiasaan. Maka saya tidak memaksakan diri dan kembali mencoba di hari lain. Sampai sekarang saya masih punya kebiasaan itu. 

Bentuk badan saya masih jauh dari Cristiano Ronaldo tapi paling tidak beberapa teman yang lama tidak berjumpa melontarkan komentar yang membuat hati saya berbunga. Tentu ini akan saya lanjutkan di tahun depan. Sehat, segar, dan bonus bentuk badan mendekati Cristiano Ronaldo. Sebelas banding tiga belas ribu mungkin?   


Rokok         

Ada satu kabar baik di tahun 2020. Saya berhenti merokok. 

Keputusan ini bermula dari lomba cipta lagu Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Saya belum pernah memenangkan satupun lomba seumur hidup. Lomba makan kerupuk pun kalah cepat dibanding anak lain. Alhasil, saya mengirimkan materi lomba cipta lagu sambil melengos. Sampai suatu siang, seorang panitia menelpon saya.

"Halo?"

"Halo! Selamat siang. Mas Anugerah, nggih?"

"(wah, orang Jawa juga nih) Iya, betul, mas."

"Lagu mas Anugerah terpilih masuk nominasi karya terbaik. Selamat nggih, mas. Karya mas Anugerah yang judulnya...."

"Tak Apa-Apa."

".. nah, iya, betul. Nanti lagu itu akan dinyanyikan saat acara pengumuman ya, mas. Sekarang mas Anugerah silakan membuat video singkat memperkenalkan diri dan cerita tentang karyanya."

Siapa yang tidak deg-degan mendapat telepon macam demikian? Tentu saya berharap sambil menahan diri untuk tidak terlalu senang karena enggan dikecewakan. "Baru masuk nominasi. Belum tentu juara," pikir saya. Diam-diam dalam hati saya bernazar,'kalau diberi kesempatan menang, aku akan stop merokok.' 

Dan... baiklah, paling tidak sekarang saya tidak lagi harus memanasi motor untuk sekadar membeli sebungkus rokok di toko dekat rumah. 

 

Piano

Saya pernah cerita di Kepincut Ratu Sari tentang kebiasaan berlatih piano yang kaku dan tidak menyenangkan (untuk detil, bisa dibaca di buku Kepincut Ratu Sari yang akan terbit beberapa hari ke depan). Demikian kurang lebih isi tulisan saya :  

"Kenapa bermusik jadi tidak menyenangkan?

Kenapa saya sangat kaku hingga tidak pernah main piano tanpa memulai dengan latihan jari dan tangga nada?  

Kenapa saya bingung hendak bermain musik apa?

Kenapa saya merasa bersalah memainkan musik pop?

Kenapa saya bosan dan mengantuk saat memainkan musik klasik?"

Saya tahu ada sesuatu yang keliru. Musik seharusnya menyenangkan. Titik. Tidak ada 'kecuali' atau 'tapi'. Kebiasaan menulis, terutama di Kepincut Ratu Sari, membuat saya banyak merefleksikannya. Saya belum tahu jawaban yang pasti, namun saya mulai bisa meraba sumber masalahnya.

Saya terlalu kaku menyikapi kegiatan bermain piano dan kehilangan daya untuk menikmati. Belakangan, saya mengganti istilah 'berlatih piano' dengan 'bermain piano'. Cukup terasa pengaruhnya. Saya jadi lebih bisa menikmati setiap momen bermusik di depan tuts karena merasa ada sedikit kebebasan di dalamnya. Belum sepenuhnya, tapi sudah mulai. 


Suasana Hati

Satu hal yang paling saya syukuri adalah beranjak stabilnya suasana hati saya di tahun ini, setelah melewati lebih dari sepuluh tahun pasang surut dan naik turun secara ekstrim.

Sebelumnya, saya cukup sering berganti ponsel karena rusak. Saya sering membanting ponsel karena kemarahan irasional atau marah atas suatu alasan yang tidak masuk akal. Tahun ini hal itu masih terjadi tapi hanya satu kali sekitar awal tahun. Itu adalah kemajuan signifikan bagi perkembangan kejiwaan saya. 

Lucunya, saya seperti lupa siapa diri saya selama 10 tahun terakhir, yakni di saat suasana hati dengan mudah berubah secara drastis. Saya merasa tubuh saya saat itu dikendalikan oleh orang lain, bukan oleh saya. Saya yang saat ini baru mengendalikan tubuh ini beberapa tahun terakhir saja. Seperti mobil yang berganti supir.

Aneh. Sungguh aneh. Dulu, sewaktu menuntaskan Kerja Praktek studi magister manajemen, saya bisa mendadak menangis di kamar mandi kantor tanpa alasan apapun. Saya duduk di kloset, menangis, dan menelepon Ibu di rumah hanya supaya ada yang mendengar saya menangis. "Sedih, Nug? Ya, gapapa. Ibu temenin ya," biasanya demikian Ibu menjawab telepon. 

Saya masih ingat betul gambar kejadian-kejadian semacam itu, sampai kejadian yang paling berbahaya. Tapi, jujur saja, saya tidak terlalu ingat seperti apa rasanya. Saya yang sekarang rasanya seperti individu yang berbeda dari waktu itu. 


Suasana hati yang lebih stabil membuat saya sedikit lebih produktif berkarya. Semoga saja karya yang saya hasilkan, apapun itu, membawa kebaikan untuk orang lain. Kehidupan sudah sangat baik pada saya, lewat orang tua, adik, istri, dan semua orang yang mendampingi dan memeluk saya. 

Saya cuma ingin membalasnya.

Comments

Popular posts from this blog

Terima Kasih Ahok!

Perjalanan Ananda dan Kehadiran Sang Idola

Dasar Kamu Enggak Normal!