Kacamata

“Sebelum nonton jangan lupa subscribe. Klik lonceng biar enggak ketinggalan cerita seru Gilang. Anyway. Guys, tadi Gilang bangun jam lima. Ini baru banget selesai beresin kamar. Di sini ujan dari semalem. Deres banget pula. Enggak berenti-berenti. Di rumah kalian gimana, guys? Biasanya, kalo pagi ujan gini, Gilang sedih. Ngerasa kayak yang ‘gelap’ gitu. Sekarang sih biasa aja. Enggak gimana-gimana. Eh, kacamata Gilang mana sih..

Nah, jadi guys, jam segini kan biasanya Gilang udah cus ke kantor. Hari ini libur. Gilang mau mager aja di kamar. Jadi kaum rebahan! Semalem Gilang googling film-film Netflix yang seru. Mantaplah! Eh si anjir, kacamata Gilang mana sih... Argghh! Di kasur enggak ada... Sebentar deh.. Di lantai, enggak. Semalem.. main PS.. Enggak ada.. Wah, ngaco…

Di ruang tamu juga enggak ada. Idiihhh! Duh, ni buku numpuk.. Ganggu! Buang! Ini bantal.. Minggir! Enggak ada juga. Sebelah TV? Enggak ada... Kabel bapuk! Bodo amat. Rusak rusak deh lu. AARRGGGHH!!!!”


Video cerita Gilang terhenti. Ponsel pecah berantakan. Ia duduk di depan TV terengah-engah. Matanya membelalak. Kedua tangan mengepal. Ingin sekali Gilang merusak semua barang. Hancur berantakan. Akal sehat Gilang masih bekerja. Ia mengatur napas.

Gilang beranjak ke dapur. Mungkin ada di dapur, pikirnya. Pandangan Gilang tertuju ke sekitar kompor. Dinding putih di belakangnya kotor kehitaman. Kalaupun ada di dapur, seharusnya ada di dekat kompor, batinnya, karena tadi malam aku bikin kopi sebelum tidur. Memandang dapur, Gilang teringat Ayah yang sering masak. Ia terdiam.  

Suatu hari, sewaktu masih kelas enam SD, Gilang kecil pergi bersama Ayah ke rumah sakit. Ia sakit demam berdarah dan harus lekas dirawat. Lalu lintas ibukota siang itu terlalu ramai. Perjalanan Gilang kecil terhambat lama sekali. Ayah yang mencemaskan kondisi Gilang kecil marah sepanjang jalan. Ia memukul klakson berulang kali. Keras dan lama sekali. Teeeeeettttt!!! Seorang tukang ojek mendadak berganti jalur, Ayah membuka jendela dan dengan dahsyat memukul bagian luar pintu mobil, BRAAAKKK!!! “Minggir!!!” teriak Ayah.

Gilang kecil sedih. Ayah jadi repot karena aku, pikir Gilang kecil. Ia takut sekali. Ingin rasanya Gilang kecil memeluk dan menenangkan Ayah yang mengemudi tegang sampai berkeringat. Ia ingin menangis dan meminta Ayah putar balik kendaraan. Gilang kecil tetap diam. Ia terlalu takut mendengar suara keras dan amarah Ayah. Dengan kondisi tubuh sangat lemas, Gilang kecil berdoa di dalam hati. Semoga keajaiban terjadi dan jalanan berubah lancar. Semoga Ayah bisa merasa tenang. Gilang kecil sangat mencemaskan Ayah.

Gilang meninggalkan dapur. “Kacamata ble’e. Mosok di garasi sih?” katanya berusaha mengingat-ingat. Ia melangkah cepat ke garasi. Eis, masih hujan.. Gelap banget.. Lampu mana lampu. Cahaya lampu menerangi garasi kosong. Cuma ada lemari kayu persegi cokelat tua menempel di dinding bagian atas.



Gilang tersenyum kecil. Garasi rumah selalu bersih. Ia kagum pada Ibu yang pintar menata barang dan merapikan garasi. Gilang membuka tutup lemari cokelat tua itu dan teringat Ibunya.

Waktu itu Gilang masih kelas tiga SD. Suatu sore, Gilang kecil masuk ke kamar dan belajar. “Kalau tidak ada PR, pelajari materi untuk besok,” kata Ibunya. Gilang kecil bosan belajar. ‘Pagi sampai siang belajar di sekolah, malam belajar lagi. Kenapa waktu main cuma sedikit?’ keluhnya dalam hati. Diam-diam Gilang membaca buku komik Dragon Ball di balik buku sekolah yang ia pegang. Ia juga merapikan tempat persembunyian kertas ulangan dengan nilai merah di bawah meja. Semua usaha Gilang kecil sia-sia saat Ibu masuk kamar.

Ibu marah besar. Ibu berteriak kenapa Gilang selalu membuat Ibu sedih. Ibu menangis. Ayah memeluk Ibu. Gilang kecil merasa bersalah. Ibu menangis karena aku, pikirnya. Ia merasa menjadi sampah di dalam keluarga. Gilang kecil jongkok mengambil kertas ulangan yang dilempar Ibu. Gilang kecil bingung hendak berbuat apa. Ia ingin kabur dari rumah. Tapi nanti mandi di mana? Tetap di rumah malu dan takut. Sementara Ayah menenangkan Ibu, Gilang kecil berdiri tidak tahu harus berbuat apa.    

Perlahan Gilang menutup pintu lemari kayu dan mematikan lampu garasi. Hujan terus mengguyur. Angin dingin bertiup. “Brengsek!”

Comments

Popular posts from this blog

Terima Kasih Ahok!

Perjalanan Ananda dan Kehadiran Sang Idola

Dasar Kamu Enggak Normal!