Rujak untuk Sang Alien

Kamis siang. Matahari bersinar ngotot. Pantulannya menyengat dari dinding semen dan aspal jalan raya. Angin tidak bertiup barang sedikit. Banyak orang di pinggir jalan utama kompleks berwajah muram dan lelah. Tak heran, udara memang panas sekali.

Saya parkir sepeda motor di depan tukang es buah. Minum es buah di tengah panas terik seperti ini sepertinya nikmat. "Bungkus dua, mas," kata saya sambil menarik bangku plastik warna merah yang sudah retak salah satu kakinya. 

Tukang es buah ini membuka dagangannya di trotoar. Persis di depan rumah yang terletak di pojokan. Selain es buah, ada pula pedagang batagor dan siomay, bakso, juga soto. Siang itu, cuma es buah yang buka. Entah ke mana pedagang lainnya. Cukup sejuk udara di sini berkat pohon besar yang ada di dalam rumah. Hhh.. lumayan neduh sebentar sambil antri dua pelanggan.  

Sambil mengamati tukang es buah beraksi, saya lihat seorang gadis kecil turun dari sepeda motor dan berjalan mendekat. Pelan sekali ia berjalan. Tingginya mungkin sama dengan dagu saya. Mungkin masih duduk di bangku SMP. Wajahnya terlihat dingin. Matanya kaku memandang tukang es buah. Ia berdiri persis di samping kotak merah besar tempat menyimpan es batu. Tidak seperti pembeli kebanyakan, yang langsung menyampaikan pesanan begitu sampai di tempat, ia berdiam. Tidak bicara sepatah kata, pun bergerak barang sedikit. 

Kulitnya sawo matang. Rambutnya hitam lurus seleher. Tubuhnya agak kurus. Rok terusan warna putih dan biru muda yang mulai pudar membungkus tubuhnya. Ia mengenakan sandal plastik berwarna merah dengan sedikit noda tanah di ujung depannya. Ukuran sandalnya kecil sekali dibandingkan kaki saya. 

Dua atau tiga menit kemudian, ia masih terus diam. Tangannya seperti terikat di samping pinggang. Kakinya diam di tempat ia berpijak sejak datang. Tidak terlihat seperti ada niatan untuk menyampaikan pesanan ke tukang es buah. Saya merasa ada sesuatu di diri gadis itu.

Saya pejamkan mata lalu melompat masuk ke dalam pikiran gadis itu. Hup!

"Aku mau nanya Abang ini jual rujak atau enggak. Tapi malu. Gimana nanti kalau suaraku enggak jelas? Dia akan nanya,'Hah?', terus orang-orang di sini ngeliatin. Terus mereka akan ngomongin aku anak aneh. Ngomong aja enggak becus. Sekarang juga mereka udah ngeliatin aku. Mereka mikir kalo aku pendek, kurus, jelek, dan bajunya kucel.

Aduh, kenapa sih aku harus ke sini? Ini ada banyak orang. Kenapa bukan Ayah aja sih yang turun dari motor? Siapa sih tadi yang pengen beli rujak? Kenapa enggak beli sendiri aja sih?"

Tenang.. tenang.. tarik napas dalam-dalam.. Kenapa sih aku penakut begini? Ini kan cengeng banget. Seharusnya aku bersyukur dikasih rezeki dan kesehatan. Aku cemas begini tandanya kurang beriman. Ya Allah aku kurang rajin beribadah.

Cuma masalah beli rujak aja aku ketakutan begini. Kenapa sih aku dilahirkan kayak gini? Kenapa sih orang tuaku nikah dan bikin aku jadi ada? Aku enggak mau hidup kayak gini. Cemas melulu. Aku enggak takut cuma pas merem tidur. Sisanya, cemas melulu. Orang lain enggak bisa ngerasain betapa sedihnya hidupku. Orang lain cuma bisa sok tahu.  

Fix deh, dunia ini bukan tempat untukku. Seharusnya aku ada di planet lain kali ya? Aku alien sedangkan ini bumi. Oksigennya beda. Pantes aja aku enggak bisa hidup nyaman di sini. Cara hidup orang-orang di bumi enggak sesuai dengan apa yang aku bisa dan enggak bisa lakukan. Tapi enggak ada jalan lain. Aku enggak bisa cari tempat lain untuk hidup. Aku ditakdirkan jadi alien yang tinggal di bumi. Jelek banget nasibku." 

Astaga. Saya tidak menyangka. Ternyata demikian isi pikiran gadis itu. Saya keluar dari pikirannya dan kembali duduk di bangku plastik warna merah yang sudah retak salah satu kakinya. Gadis itu masih memandangi tukang es buah sambil berdiam diri.  

Beruntung, tukang es buah bertanya ramah, "Beli apa?" Alih-alih menjawab, gadis kecil itu berjalan pelan ke samping tukang es buah. Lalu bicara dengan suara yang bahkan tukang es buah itu pun tidak bisa dengar. Tukang es buah kembali bertanya dengan nada ramah dan sabar. 

"A..da ru..jak ga?" Oh, akhirnya suara gadis itu terdengar oleh saya.


*Bagian tulisan tentang isi pikiran gadis sepenuhnya fiksi. Saya tidak punya kemampuan merasuk ke dalam pikiran seseorang. Namun, sikap dan cara bicara gadis itu di tukang es buah bukan fiksi. Saya teringat seorang di masa lalu yang kerap ketakutan sampai bercucuran keringat saat harus berjumpa atau bicara dengan orang lain, terutama orang baru. Saat ini orang itu sudah dalam kondisi yang lebih baik. Meskipun terkadang rasa takut dan cemas masih kerap muncul, paling tidak ia sudah tidak terlalu merasa terkucil. 

Comments

Popular posts from this blog

Terima Kasih Ahok!

Perjalanan Ananda dan Kehadiran Sang Idola

Dasar Kamu Enggak Normal!